Selamat Datang di Blog Kami

Mohon Sumbang Saran Untuk Perbaikan dan Kebaikan

Rabu, 28 Januari 2009

Study Kasus Pengunduran Diri Bupati Aceh Besar

BUPATI ACEH BESAR MENGUDURKAN DIRI
Oleh Al Munzir As-salamy

Sejak dilantik oleh Gubernur Irwandi Yusuf pada 1 Maret 2007, dari sinilah pasangan Bukhari-Anwar mengawali karir sebagai kepala daerah Kabupaten Aceh Besar. Namun tanpa diduga, pada Jumat 5 September 2008, Bukhari membuat sebuah keputusan yang sangat menyentak sekaligus mengagetkan. Di atas selembar kertas yang mencantumkan tulisan tangannya sendiri, Bukhari menyatakan mundur dari jabatannya tampa mnyertai alasan yang jelas. Inilah peristiwa bersejarah seorang bupati hasil pilihan rakyat mengundurkan diri. Bukhari adalah sosok lelaki yang “brilian”. Dia adalah Doktor Ilmu Sociolinguistics dari The University of Melbourne, Australia Ia dulu pernah ditawarkan menjadi dosen di Universitas Cornel AS. Tapi lelaki yang kerap tampil menjadi khatib Jumat sebelum menjadi bupati ini menolaknya. Alasannya ia ingin mengabdi untuk masyarakat Aceh Besar. Rupanya, keinginan itu terkabul setelah dua partai besar, PAN dan PBR mengusungnya menjadi bupati bersama pasangannya, Anwar Ahmad. menanggapi berita mundurnya Bukhari Daud dari jabatannya sebagai Bupati Aceh Besar atas kehendak sendiri tidak ada masalah, tapi secara social dan politis ia telah mengecewakan pemilihnya yang telah memilihnya dalam Pilkadasung Aceh Besar pada 11 Desember 2006.
Bupati harus menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat Aceh Besar alasan mundur. permintaan mundur atas kemauan sendiri dari jabatan bupati, ada diatur dalam Pasal 48 ayat b) dalam UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Namun, untuk tidak mengecewakan rakyat yang memilihnya, ada baiknya menjelaskan kepada masyarakat Aceh Besar secara terbuka. Saat ini, masyarakat Aceh Besar, terutama pemilihnya pada waktu pilkada masih penasaran kenapa ia mundur. Jika Bukhari tidak menjelaskan alasannya, pemilihnya semakin penasaran dan kecewa berat. Sesulit apapun alasan yang akan disampaikan, namun tetap harus dijelaskan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada pemilih dan masyarakat Aceh Besar.
Dalam surat pernyataan mundur yang ditulisnya dengan tulisan tangan sendiri tertanggal 05 September 2008, tidak menyebutkan alasan mengundurkan diri, setiap sesuatu yang diputuskan sendiri, apalagi menyangkut kepentingan publik, harus punya alasan yang kuat. jika dirinya sakit dan tidak bisa melaksanakan tugas sebagai Bupati Aceh Besar, masyarakat dapat memahami dan memakluminya. bila dikaji dari sisi politis, tidak mungkin terjadi. Sebab, duet kepemimpinan Bukhari-Anwar mendapat dukungan masyarakat dalam pilkada dan mendapat dukungan yang kuat. Ini besar pengaruhnya dari faktor kepribadian dan lingkungan sosial.
Tampilnya duet Bukhari-Anwar sebagai pucuk pimpinan pemerintahan di Kabupaten Aceh Besar yang berpenduduk sekitar 225.948 jiwa menjadi catatan sejarah tersendiri bagi masyarakatnya yang mendiami 22 kecamatan tersebut. Pasangan Bukhari-Anwar adalah produk pilihan rakyat yang dibuktikan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung pada 11 Desember 2006. Kini, ketika jabatan itu baru 18 bulan diembannya, tiba-tiba Bukhari menyatakan mundur. Wajar, kalau kemudian muncul berbagai pertanyaan, kenapa masa tugas yang seharusnya berakhir pada 1 Maret 2012 itu tiba-tiba berhenti sebelum setengah perjalanan. meskipun telah menyampaikan pernyataan pengunduran diri, Bukhari Daud masih menjadi Bupati Aceh Besar sampai ada keputusan dari Menteri Dalam Negeri. “Secara yuridis formal, ia masih menjabat sebagi bupati hingga ada keputusan dari Menteri Dalam Negeri, dan nantinya akan ada mekanisme tersendiri menyangkut pelaksanaan keputusan tersebut.
Hal ini menimbulkan Proses-proses psikis (bingung, penasaran, sedih dll) dan sifat pribadi individu (internal) tidak mungkin dilepaskan dengan kondisi lingkungan (eksternal). Kesedihan dan rasa tertekan beliau pasti berhubungan dengan faktor luar sebagai penyebab. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba menangis tanpa sebab eksternal. Individu tidak bisa terisolir dalam kamar maya yang memisahkan dari dunia luarnya.
Menurut penulis keputusan yang diambil beliau tidak terlepas dari pengaruh social disamping beberapa pengaruh lainnya, ada beberapa kemungkinan alasan beliau mengudurkan diri, diantaranya;
1. Kesehatan
Akibat tidak sanggup mengemban tugas-tugas yang dirasa amat berat sehingga membuat kondisi kesehatan yang mulai menurun.
2. Manuver Politik
• Pihak Tertentu; untuk memecah-belah pemerintahan. Bisa jadi mereka adalah oknum-oknum birokrasi, legislasi, kontraktor dan para elite politik (kalah) untuk bermain dan menghancurkan Aceh Besar karena hasyratnya tidak tercapai.
• Manuver Pribadi/Tim Bupati; merebut hati rakyat dan menilai sejauh mana dukungan moril masyarakat, akan tetapi momen ini juga dimanfaatkan oleh barisan sakit hati sehingga digembar-gemborkan bahwa bupati sosok yang cengeng.
3. Keharmonisan
Tidak harmonisnya perangkat pendukung sehingga banyak konsepnya yang tidak jalan sehingga ia merasa eksistensinya sebagai bupati sia-sia saja dari pada menjadi fitnah.
4. Korban Tim Sukses
Satu sisi, keputusan Bukhari Daud untuk mundur dari jabatannya patut disayangkan, namun di sisi lain, keputusan itu diduga sebagai bentuk ketidakberdayaannya melawan tekanan dari tim sukses yang merasa telah berbuat untuk menempatkannya sebagai Bupati Aceh Besar. Kalau memang itu yang terjadi, maka inilah yang dinamakan tim sukses yang ingin menyukseskan diri.
5. Tekanan
Bentuk tekanan yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa telah membantu dan kelompok yang menganggap dirinya punya kekuatan untuk menekan seorang bupati, bermacam-macam. Ada yang berorientasi proyek, politis, dan intervensi dalam penempatan pejabat. setelah beliau terpilih jadi bupati ada pula yang mengaku diri sebagai pahlawan, sehingga semua keinginan dan omongan dia harus didengar dan dituruti bupati, hal ini Terindikasi belum siap memberikan alasan yang kongkrit. Bagi sosok seperti Bukhari yang dikenal memiliki pengetahuan agama yang relatif tinggi, tentu tak bisa menerima cara-cara yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Bukhari sadar betul, setiap pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban menyangkut kepemimpinannya.
6. Idealisme
Idealisme dan komitmennya yang kokoh, ternyata tak bisa bertahan dalam kondisi politik yang dipimpinnya sudah berada pada krisis, termasuk krisis moral yang kemudian membuat sikap seorang Bukhari, harus “membenci” dengan cara mundur dari jabatan nomor satu di kabupaten Aceh Besar. Nuraninya tak mau dikotori dengan intrik politik, dan demokrasi yang terus-menerus lebih bermuara pada kepentingan pribadi dan kelompok serta kepentingan lainnya. Sesuai karakternya ia terus-terusan diuji dalam kapasitas jabatan politiknya, maka ia memilih mundur sebagai jalan terbaik baginya. Saya menilai di sinilah “sikap moral” seorang pribadi Bukhari Daud, yang kemudian mengundang simpati public.

Dalam masa kepemimpinannya sebagai bupati, ia dikenal bersih dari berbagai permainan politik maupun bersih dari penerimaan melawan kodrat yang tidak halal. Pengunduran dirinya tersebut, tampaknya memang ia butuh bersih, rasa suci dan itu adalah syarat utama untuk percaya diri. Mungkin saja selama ia bergumul dengan jabatannya tersebut, ia tampaknya tidak haqul yakin untuk percaya diri, walau wajahnya dibasahi air selama berwudhuk, namun ia belum merasa bersuci dengan kesibukannya sehari-hari yang selalu melawan nuraninya.
Walau cuci muka dikala berwudhuk, dan itu bukan hanya sekedar transsidental dengan Allah yang dijalankannya, lebih dari itu bukan juga sekedar sugesti yang berlaku subjektif, melainkan suatu metode objektif yang telah menempatkannya sekarang tambah dicintai, karena semua orang juga mengetahui bahwa perpolitikan masa transsisi sekarang di Aceh, butuh figur yang tahan banting, bahkan para kepala dinaspun diuji dengan berbagai kesimpang-siuran, akibat kepentingan yang mendominasinya dimana-mana. Tampaknya Buchari bukan avonturir politik yang tahan uji untuk dibanting. Apa boleh buat, ia harus meninggalkan jabatan yang diperebutkan orang, sebaliknya ia lebih percaya diri untuk kembali ke kampus. Mungkin lebih bahagia jika ia berceramah dimana-mana. Ia dekat dengan masyarakat, ceramahnyapun selalu ditunggu dari pada ia dekat degan protekuler, karena jabatannya yang formal dengan orang yang mencintainya.
Tepat juga sebahagian orang mengatakan bahwa untuk menjadi pemimpin di Aceh sekarang haruslah figur yang setengah gila. Pengertian setengah gila tersebut, harus sedikit arogan, sedikit urakan dan pemberani, meskipun kurang berwawasan tentang peristiwa komunikasi sosial serta tidak memiliki imajinasi terhadap citra cirinya sendiri di depan rakyatnya. Vitalitas dibutuhkan untuk memimpin rakyat Aceh yang senang dengan harga dirinya, senang dengan adat istiadat, dan senang dengan politik serta hukum-hukum adat yang berestetika.
Meskipun demikian menurut penulis proses pengunduran Bukhari Daud dari bupati Aceh Besar kurang tepat, dimana seharusnya beliau harus melakukan langkah-langkah strategis sebelumnya, diantaranya;

a. menyampaikan niatnya mengundurkan diri kepada Pengurus Partai Bintang Reformasi (PBR) dan dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengusungnya pada Pilkada 2006.
b. Konsultasi dengan berbagai pihak
Dikonsultasikan dengan Rektor Unsyiah yang nota bene adalah induk pengabdiannya. Seharusnya Buchari yang juga secara pribadi dekat dengan sang rektor, karena saat kuliah ia satu angkatan dengan Prof. Dr. Darni M. Daud, namun sang rektor, juga agak kaget dengan keputusan Buchari. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa siklus kerja orang-orang kampus yang diperbantukan di luar, kurang ada koordinasi dengan almamaternya, beda dengan perwira yang memiliki sikap komando, buruk baik tetap sepengetahuan induk markasnya untuk melapor dan mendapat solusi yang tepat untuk dilindungi oleh korpnya baju hijau.
c. Bila alasan pengunduran dirinya adalah alasan kesehatan maka langkah yang tepat adalah mengambil cuti untuk beberapa minggu/bulan.
d. Tidak alergi dengan kritikan
e. Harus tetap bertugas sebelum ada kebijakan atasan
Tidak boleh seorang bupati menyatakan mengundurkan diri lalu serta merta meninggalkan tugasnya. Pengunduran diri seorang kepala daerah memiliki tahapan dan mekanisme tersendiri seperti diatur dalam PP Nomor 6/2005,” ujar Juru Bicara Departemen Dalam Negeri (Depdagri) permohonan pengunduran diri Bupati Aceh Besar harus dibawa dalam sidang paripurna DPRK Aceh Besar. Apabila disetujui, selanjutnya diusulkan kepada Mendagri melalui gubernur.
f. walaupun ia sudah menyatakan mundur, tapi secara etika pemerintahan harus menjelaskan alasan mundur itu ke publik. Karena ia adalah Bupati hasil pilihan rakyat. Selain itu, Bukhari juga harus menjelaskan alasan itu ke DPRK Aceh Besar dan hal itu harus diterima oleh DPRK. meskipun mundur adalah hak secara hukum, tapi jalan itu tidak tepat sebab masyarakat Aceh Besar masih membutuhkan Bukhari sebagai bupati.
g. Kalaupun Tertekan Tidak Boleh Cengeng
Kasat mata memang ada kesejahteraan, namun tidak merata. Ini mengindikasikan ketidakkompakan. Ada yang berjalan sendiri-sendiri. Ada pula yang satu menekan yang lain. Sebaliknya, yang tertekan malah meringis, cengeng. Padahal, yang namanya menangis, ngambek, merajuk, dan semacamnya adalah ekspresi feminis, tidak macho. Dan, ekspresi itu bukan sikap dan bukan pula solusi, hambatan dan tantangan adalah hal yang lumrah apalagi bagi pejabat publik. Masyarakat juga harus diberi pemahaman secara terus menerus bahwa membangun itu tidak mudah, butuh waktu dan kesabaran.
Penting diperhatikan beberapa hal atas sikap murni bupati yang kiranya menjadi teladan di sisi demokrasi, namun dari segi koordinasi dengan para penisepuh perlu adanya konsultasi, apalagi di Aceh Besar tidak sedikit orang-orang tua yang kita butuhkan nasihatnya untuk minta petunjuk agar pengambilan keputusan untuk pengunduran diri seperti yang terjadi diharapkan sebagai pencerminan sikap bersama dan sikap demikian tidak lazim terjadi, karena Dr. Buchari salah satu figur yang disukai dan selalu dekat dengan rakyat. Jadi dari segi kepentingan politik, beliau tidaklah terkesan sebagai orang yang dikorbankan, karenanya perlu diperhatikan beberapa hal :
Pertama, para tokoh Aceh Besar harus kompak dan perlu team work yang kuat dalam motifasi untuk mengisi pembangunan. Para politisi harus mendengar penisepuh yang berkharisma. Tidak selalu mengutamakan kepentingan politik dari kepentingan kebersamaan dan kekompakan. Tokoh Aceh Besar perlu melakukan konsolidasi segera guna meluruskan citra baik Aceh Besar dalam percaturan politik.
Kedua, keputusan mundur bupati tidak menjadi presenden buruk untuk satu saat akan menjadi model bagi Aceh, kecuali memang sikap mental politisi yang gagal dalam memimpin, sebaiknya lekas mundur sebelum dimundurkan.
Ketiga, yang berminat untuk menjadi pemimpin harus berpikir matang sebelum mempertaruhkan namanya dan “siap mental” untuk duduk di jabatan politis serta tidak hanya sekedar berminat, tetapi juga dibutuhkan bakat untuk selalu tahan banting, karena Buchari sebelumnya tidak pernar berkarir di jabatan politis. Sisi lain para politisipun tidak menjadikan sang bupati sebagai figur untuk dimanfaatkan (dimana saja) sebagai peluang untuk menghancurkan nama baiknya.
Keempat, jabatan apapun yang diemban, baik sebagai kepala daerah, kepala dinas atau menteri sekalipun, jika pada kondisi sekarang membutuhkan kehati-hatian untuk tidak terperosok ke jurang hotel prodeo. Dimana-mana peluang untuk korupsi mengundang ketidakhatian untuk tergiur berbuat dosa yang sangat tidak disukai oleh tipe seperti Buchari yang selalu mengandalkan imannya untuk berbuat. Apalagi jika memang ia pernah diancam dengan berbagai model kepentingan yang dapat menjerumuskannya.
Kelima, tentu para cendekia kampus tidak akan membiarkan Buchari sunyi dalam kesendirian. Ia punya potensi besar untuk tidak dikatakan gagal dalam memimpin, justru sebaliknya kondisi alam keseharian dan perpolitikan internal di Aceh Besar mungkin kurang bersahabat untuk merangkul kejatidirian Buchari yang sangat hati-hati dalam bersikap sebagai kepala daerah untuk tidak berlumuran dosa, karena ia tampaknya tidak siap untuk itu. Aceh Besar memiliki potensi alam untuk bergaung ke depan, siapa kader pengganti Buchari akan lebih menempatkan Jantho sebagai ibukota yang diharapkan jauh dari fenomena jeratan politik, melodi Aceh Besar juga melodi Tengku Buchari yang memancarkan cahaya air wudhuk dan min atsaris sujud, dan itu semua berkat tradisi sujudnya.

Ada beberapa akibat dari sikap yang diambil oleh bupati Aceh Besar, diantaranya :
1. Kekecewaan Masyarakat khususnya pendukung;
2. Iklim politik dan birokrasi di Aceh Besar yang tidak sehat sehingga menjadi sumber penderitaan lahir batin bagi dirinya. Sehingga terjadilah suatu dilema antara mengikuti iklim yang sudah tumbuh menjadi kebiasaan namun tidak dapat diterima oleh nurani, atau menentang iklim ini dengan berbagai resiko,” iklim politik yang berkembang di daerah tersebut seolah-olah telah didasari oleh sebuah filsafat politik bahwa politik adalah untuk mengalahkan dan menguasai, kalau tidak Anda akan dikalahkan atau dikuasai. iklim politik dan birokrasi yang tidak sehat ini telah menyebabkan kondisi kesehatannya memburuk, baik secara fisik maupun mental. “Beban pekerjaan yang semakin berat yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dikhawatirkan akan berdampak buruk dan dapat berakibat fatal bagi kelangsungan tata pemerintahan di Kabupaten Aceh Besar, maupun terhadap diri bupati pribadi.
3. Terpecahnya konsentrasi pelaksanaan roda pemerintahan sehingga menggalami gangguan pelayanan terhadap masyarakat;
4. Dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Apalagi menjelang Pemilu 2009, ini menjadi konsumsi politik yang paling empuk untuk dijadikan bahan kampanye hitam yang dapat berimplikasi luas pada tidak jalannya pembangunan dan mengganggu stabilitas politik di Aceh Besar.

Demikianlah tanggapan penulis terhadap suatu kasus yang menyangkut dengan proses psikologi social, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan juga bagi pembaca.

Tidak ada komentar: