BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbuatan yang terbaik, menurut Islam adalah perbuatan yang didasari oleh Qur’an atau merupakan perwujudan ketaatan hamba kepada Allah. Sehingga memahami, menelaah, mengajarkan, dan mengamalkan Qur’an merupakan perbuatan yang mulia. Nabi saw bersabda:, "Yang terbaik di antara kamu ialah mereka yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya." Al-Quran diturunkan juga bertujuan untuk memandu manusia ke jalan yang benar, memberi petunjuk, rahmat, membawa berita gembira, menjadi penawar, peringatan dan cahaya bagi ummat manusia yang beriman.
Firman Allah s.w.t. dalam surah Yunus ayat 57 yang berbunyi :
Maksudnya : " Wahai ummat manusia! sesungguhnya telah datang kepada kamu al-Quran yang menjadi nasihat dari Tuhan kamu, dan yang menjadi penawar bagi penyakit-penyakat batin yang ada didalam dada kamu dan juga menjadi hidayah petunjuk untuk keselamatan, serta membawa rahmat bagi orang-orang yang beriman ".
Membaca al-Quran bukan saja merupakan suatu ibadah, bahkan dalam waktu yang sama ia juga mampu menjadi penawar penyakit dan rahmat bagi orang yang beriman.
Maksudnya : " Dan kami turunkan al-Quran sebagai penyembuh penyakit dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidak menambah orang-orang yang zalim ( disebabkan keingkaran mereka ) melainkan kerugian " .
( Surah al-Isra' ayat : 82 )
Al-Qur’an mempunyai spesifikasi baik isinya yang menjadi pedoman yang bersifat abadi, menyeluruh lingkupnya (komprehensif), dan umum keberlakuannya, (universal). Dalam menyampaikan ajaran al-Qur’an, menurut Aisyah, al-Qur’an memberikan apa yang ia sebut ide moral (pesan etik) untuk semua kehidupan. Aisyah berkata: Budi pekerti beliau adalah Qur’an.
Nabi Muhammad memerintahkan pengikutnya atau ummat Islam untuk membaca Quran dengan teliti. Beliau bersabda:
a
ِاقْرَوُوا القُرْءآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ.
Artinya: " Bacalah Al-Quran, sesungguhnya (al-Quran) akan datang pada hari kiamat memberi syafaat kepada pembaca-pembacanya ".
(Riwayat Muslim )
Dalam hadis lain Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنةٌ، والحَسَنَةُ بِعَشْأَمْثَالِهَا، لآ أَقُوْلُ ( ألم ) حَرْفٌ، وَلَكِنَّ أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ. رِ
( Riwayat al-Tirmizi )
Artinya kurang lebih sebagai berikut : " Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Quran, maka bagi-nya akan diberi sepuluh pahala dan ditambah sepuluh lagi kewajiban seumpamanya, tidak aku katakan ( alif, lam, mim ) itu satu huruf, akan tatapi alif satu huruf dan lam satu huruf dan mim satu huruf ".
( Hadis riwayat Muslim )
Mempelajari tafsir adalah wajib berdasarkan firman Alloh ta’ala :
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shod : 29)
Dan firman Alloh ta’ala :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad : 24)
Penjelasan dari ayat yang pertama adalah Alloh ta’ala berfirman bahwa hikmah dari diturunkannya Al-qur’an yang penuh berkah ini adalah agar manusia memikirkan (tadabbur) ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran dengan apa-apa yang ada di dalamnya.
Tadabbur adalah merenungkan lafadz-lafadz agar sampai kepada makna-maknanya. Jika tidak demikian, hilanglah hikmah dari diturunkannya Al-Qur’an, sehingga hanya menjadi sekedar lafadz-lafadz yang tidak ada pengaruhnya. karena tidak mungkin mengambil pelajaran dengan apa–apa yang ada dalam Al-Qur’an tanpa memahami maknanya.
Alasan yang lebih kuat ditunjukkan oleh ayat berikutnya yang menunjukkan bahwa Alloh ta’ala mencela orang-orang yang tidak mempelajari dengan saksama arti dan keterangan atau secara singkat tafsir Al-Qur’an, dan mengisyaratkan bahwa yang demikian merupakan tanda tertutupnya hati-hati mereka, dan tidak sampainya kebaikan kepada hati-hati mereka. Para ulama salaf berada di atas metode yang wajib ini, mereka mempelajari al-Qur’an lafadz dan maknanya. Karena dengan cara ini, mereka mampu untuk mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan yang diinginkan oleh Alloh, karena sesungguhnya beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui maknanya adalah tidak mungkin.
Abu Abdirrohman as-Sulami berkata bahwa Utsman bin Affan, Abdulloh bin Mas’ud dan yang lainnya, jika mempelajari 10 ayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka tidak menambah sampai mereka mempelajari apa yang ada pada ayat tersebut dari ilmu dan amal, mereka berkata : “maka kamipun mempelajari al-Qur’an, ilmu dan pengamalannya secara bersamaan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Kebiasaan (adat) suatu kaum melarang untuk membaca sebuah kitab dalam suatu bidang ilmu seperti kedokteran dan matematika tanpa memahami maksudnya, maka bagaimana dengan firman Alloh ta’ala yang merupakan penjaga mereka, yang dengannya keselamatan mereka dan kebahagiaan mereka serta tegaknya agama dan dunia mereka tercukupi.
Universalitas al-Qur’an mengandung nilai-nilai serta norma-norma. Nilai berarti inti suatu ajaran yang bersifat fundamental dan universal, seperti nilai keadilan dan kejujuran. Untuk mencapai keadilan, perlu norma-norma yang berlaku adil, jujur, bersih dari ancaman, kezaliman dan ketidak adilan. Statemen-statemen nash yang mengandung norma-norma sangat banyak dan bervariasi bentuk penuturannya.
Gaya penuturan al-Qur’an dipandang arif, dialogis singkat dan menyeluruh oleh banyak pihak. Gaya tersebut merupakan suatu kehebatan (i’jaz) yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 21 yang berbunyi: Jika kamu berada dalam keraguan dengan apa-apa yang kami turunkan kepada hamba kami, maka datangkanlah satu surat yang semisalnya, dan datangkanlah saksi-saksi kamu jika kamu benar.dan dalam surah as-Syura. Bahwa, ketika para pemimpin, sastrawan dan ahli syair mencoba membuat syair dan tulisan-tulisan ternyata tidak satupun dari mereka mampu menyamai al-Qur’an. Hal tersebut diakui pula oleh beberapa sarjana Barat yang meneliti sastra dan isi al-Qur’an.
Ayat-ayat al-Qur’an yang menyampaikan pesannya bersifat umum seperti disinggung diatas, selanjutnya untuk pelaksanaan pedoman-pedomannya membutuhkan perincian dan tafsiran, hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan menyampaikan hadits-haditsnya yang berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.
Terlihat dalam sejarah perkembangan ilmu–ilmu agama dan al-Qur’an, banyak ilmu-ilmu yang dilahirkan oleh para ilmuwan muslim yang digali dari sumber al-Qur’an. Yaitu ilmu-ilmu yang digunakan untuk menelaah al-Qur’an yang tidak dipergunakan sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an.
Untuk melakukan suatu studi al-Qur’an, sebagai objek studi Islam, diperlukan minimal seperangkat ilmu-ilmu yang pernah ditemukan oleh para ilmuwan Muslim. Ilmu-ilmu tersebut menjadi cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang kemudian disebut ilmu tafsir. Untuk lebih jelas, berikut disampaikan beberapa cabang ilmu-ilmu al-Qur’an tersebut.
Ilmu Asbab Nuzul
Ilmu ini membahas sebab-sebab diturunkan suatu ayat al-Qur’an. Apa yang melatarbelakangi sehingga suatu ayat diturunkan. Memang tidak semua ayat diturunkan berdasarkan sebab langsung yang melatarbelakanginya, tetapi ayat-ayat, khususnya menyangkut hukum-hukum publik, biasanya didahului oleh suatu peristiwa.
Bahasan-bahasan yang dapat dikelompokkan ke dalam ilmu asbab nuzul ini adalah, perhatian para ulama terhadap penelitian sebab-sebab turun ayat; dasar-dasar penelitian asbab nuzul; berbagai rumusan tentang sebab-sebab turun ayat; ayat-ayat mana yang turun paling awal dan sumbernya; serta, manfaat yang diperoleh dalam studi asbab nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an.
Mengetahui sebab nuzul sangat penting. Pertama, untuk mengetahui pesan awal yang sebenarnya dan atau motif suatu ayat. Dapat dipergunakan untuk menganalisis bahasa ayat sehingga disimpulkan apakah ayat tersebut bermakna umum atau khusus.
Ilmu Makki-Madani
Ilmu ini membahas tempat dimana ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, apakah di Madinah ataupun di Makkah. Manfaat membelajarinya, antara lain seorang mufasir tidak salah dalam menangkap semangat ayat yang diturunkan di dua tempat tersebut, sebab kedua tempat itu mempunyai perbedaan problem sosial dan keagamaan.
Ilmu Taarikh Al-Qur’an
Ilmu ini membahas sejarah al-Qur’an, mulai dari turun, ditulis dan dikumpulkan, dan berkembangnya dari waktu ke waktu hingga sekarang Mengetahui sejarah al-Qur’an akan membantu seorang mufassir al-Qur’an untuk lebih jeli terhadap kemungkinan-kemungkinan kesalahan dan penyalahgunaan al-Qur’an. Termasuk mengetahui pendapat-pendapat umum yang berkembang tentang al-Qur’an, dan khususnya penyalahartian isi-isi al-Qur’an.
Ilmu Lughah wal Qira’ah
Ilmu ini merupakan gabungan dari hasil-hasil kajian tentang bahasa al-Qur’an dan cara-cara membacanya.Mengetahui secara khusus seluk beluk bahasa al-Qur’an dan cara membacanya akan membantu mufasir atau mereka yang mengadakan studi untuk mengetahui kesalahan-kesalahan arti yang mungkin terjadi karena bacaan yang salah dan dialek yang berbeda.
Ilmu Qawaid Al- Tafsir
Ilmu ini memuat kaidah-kaidah untuk menafsirkan al-Qur’an. Kaidah-kaidah dimaksud adalah kaidah-kaidah kebahasan dan ushul yang relevan untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
Mengetahui kaidah-kaidah ushul dan lughah semacam ini sangat diperlukan bagi para mufassir al-Qur’an . Pengetahuan ini dapat membantu mufassir untuk mengetahui maksud kebahasan sesuai dengan yang dikehendaki oleh ayat. Bahkan, umumnya para mufassir klasik sangat menekankan analisisnya dengan menggunakan analisis bahasa, mereka sangat percaya bahwa pekerjaan awal yang harus dilakukan oleh para mufassir adalah mendekati ayat secara kebahasan sebelum yang lain.
Ilmu Gaya dan Struktur Al-Qur’an
Istilah ini dipakai oleh penulis untuk menghimpun beberapa temuan para ilmuwan Muslim tentang beberapa unsur yang berkaitan dengan gaya al-Qur’an dalam mengungkap dirinya, dan unsur-unsur struktur al-Qur’an.
Unsur-unsur ilmu semacam ini bersifat spesifik yang terdapat dalam al-Qur’an yang perlu diketahui oleh mufassir atau mereka yang melakukan studi terhadap al-Qur’an. Kedua cabang ini akan membantu mereka mengetahui watak dasar serta ciri-ciri luar al-Qur’an yang pertama kali menjadi sumber ide tentang Tafsir adalah pengertian perkataan "at-tafsir" itu sendiri, yaitu menerangkan atau menjelaskan. Menafsirkan menurut Allah merupakan hak Allah terhadap manusia sebagaimana firmannya: inna ‘alainaa jam’ahuu wa qur’aanah. Faidzaa qoro’naahu fattabi’qur aanah
,
Jadi menerangkan aturan Allah sudah menjadi tuntutan dan keharusan sejak pertama manusia diciptakan dibumi oleh Allah swt. Tatkala Adam melanggar perintah Allah dan diturunkan ke bumi, Allah menerangkan kembali larangannya dengan firmannya: Bukankankah telah kularang kamu berdua uantuk mendekati pohon tersebut dan telah kukatakan kepada kamu berdua bahwa setan itu bagi kamu berdua merupakan musuhmu yang nyata Namun disampaikan dalam al-Qur`ân bahwa yang pertama kali adanya keterangan atau penafsiran ayat al-Quran sebagai hal yang penting untuk diketahui
Penafsiran yang berarti penjelasan, dapat ditemukan dalam kisah Ibrahim tatkala beliau memohon penjelasan kepada Allah bagaimana nanti Allah menghidupkan orang mati di hari Qiyamah: Tatkala Ibrahim berkata ya Allah bagaimana anda menghidupkan orang mati? Kemudian allah menjelaskan agar Ibrahim melakukan serangkaian tindakan yang akan membuat jelas dan yakin firman Allah tentang kehidupan sesudah mati .
Dalam tafsir surat al-Baqarah yang dibuat oleh Depag kata Islam dalam kisah nabi Ibrahim nampaknya merupakan isu tersendiri. Selain kata al-islâm berarti pasrah, kata al-islâm jika dikembalikan ke tsulatsi mujarrad berasal dari Sâlima-yaslamu- salâman dapat berarti kedamaian, ketentraman, hormat, dan selamat. Dengan demikian semua agama samawi mengandung sikap dan perilaku pasrah kepada Tuhan ada kedamaian, ketentraman, saling hormat menghormati dan hidupnya selamat.
Para penafsir depag yang mengemukakan kisah-kisah dalam surat Al-Baqarah menyimpulkan bahwa pada surat tersebut terdapat tiga kisah utama. Yaitu kisah Adam, Ibrahim, dan Musa dengan Bani Israil. Tiga kisah ini sangat popular di kalangan agama samawi. Di dunia yang luas ini, agama samawi yang bersumber dari Allah yang disebutkan dalam al-Qur`ân, ada tiga yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Dengan keterangan tersebut diatas, disertasi ini meneliti paparan al-Qur`ân mengenai kisah-kisah Adam, Ibrahim, dan Musa diambil sebagai representasi dengan pertimbangan:
1. Secara implisit, semua kisah dalam surat Baqarah dapat dijadikan tuntunan kehidupan, dan sampai saat ini masih banyak ayat ayatnya yang dipraktekkan oleh seluruh masyarakat di dunia dan Indonesia khususnya. Kisah al-Baqarah sebagai representasi sangat diperlukan. Jika penelitian ini mengambil dari semua kisah dalam al-Qur’an maka akan terlalu luas. Oleh karena itu penelitian ini mengambil sample kisah sebagai kisah awal dengan teladan yang dapat dilakukan oleh tiap individu
2. Semua agama samawi yang ada sampai sekarang mengakui adanya tokoh-tokoh kisah-kisah tersebut, walaupun jalan cerita masing masing berbeda.
3. Semua kisah Nabi dalam surat al-Baqarah merupakan kisah yang dapat diambil ibarah, sebagai motivator dan masih relevan dengan perilaku beragama bangsa Indonesia khususnya dan ummat Islam di seluruh dunia.
4.Tafsir depag merupakan tafsir pedoman yang resmi, karena dibuat oleh departemen yang diakui pemerintah dengan para penafsir yang dianggap berkompeten dalam bidangnya. Mereka mempunyai sistem penafsiran yang layak layak untuk dibahas. Permasalahan hermenetika yang ada perlu ada perlu pula dilakukan kajian dengan saksama.
B. Batasan dan Ruang Lingkup Masalah
Dalam tradisi Islam dikenal kisah Adam, Ibrahim, dan Musa. Kisah-kisah rosul ini merupakan dasar kehidupan manusia dan mencerminkan kebutuhan dasar manusia. Seperti dalam kisah Adam terdapat motivasi untuk belajar dan mengajar, saling hormat menghormati, menaati aturan yang ada, makan, minum, berkeluarga, dan bermasyarakat, perlunya aturan baik pidana maupun perdata, adanya cobaan yang selalu akan ada dalam kehidupan manusia. Al-Qur`ân menyajikan kisah-kisah Adam, Ibrahim dan Musa dalam banyak ayat dan berbagai surat.. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah kisah-kisah yang terdapat dalam surat al-Baqarah, karena bahasan kisah-kisah tersebut merupakan dasar-dasar aturan yang akan diberlakukan pada ayat ayat berikutnya. Misalnya kisah tentang hidup berkeluarga (Adam dan istrinya); kisah tentang Ibrahim yang mendasari haji, dan kisah tentang hukum pidana dan perdata yang terdapat dalam kisah penyembelihan sapi betina di kala Musa menjadi nabi di kalangan Bani Israil.
Batasan Kisah
Kisah dalam Alquran menggunakan bentuk jamak empat kali, berarti "cerita", atau rangkaian peristiwa kronologis, ada proses awal dan ada proses akhirnya. Satu kali berarti napaktilas atau mengikuti jejak. Allah swt. dan para rasul disebut sebagai sumber atau 'penutur' kisah. Allah sebagai penutur menggunakan juga menggunakan kata ganti kami- dan menggunakan kata -Dia-, Allah swt. juga dapat disebut sebagai sumber dan penutur "berita". Didasarkan pada kata dan kata Kedua bentuk Fi'il Mudari' itu, termasuk al-Fi'il al-Muta'addi -kata kerja transitif-. Yang pertama yunabb'iukum, berulang sembilan kali. Kecuali pada surah 34 ayat 7, semua fa’il-nya (subjek kalimatnya) merujuk kepada Allah swt. Yang kedua yunabb'iuhum berulang sebanyak enam kali. Fa'il-nya juga semuanya merujuk kepada Allah swt. Namun tidak seperti qasasna, naqussu dan yaqussu tersebut di atas, yang terkait sebagai sumber-cerita; di sini Allah swt. sebagai sumber "berita", dalam pengertian lebih luas dan lebih urnum. Bahwa Allah swt. menyampaikan berita kepada kamu atau kepada mereka; tentang apa yang kamu atau mereka kerjakan; dan tentang apa yang kalian saling silang sengketa dan perselisihkan.
Kisah menurut ar-Ragib: Tatabu'u al-asar —cerita penelusaran jejak atau peninggalan masa lalu—, dan al-khabar al-mutatabbi'ah — berita-berita yang dapat ditelusuri bekas-bekasnya. Sedang nabaun yaitu berita dalam pengertian kisah, selain mengandung manfaat dan daya pikat yang mempesona, juga tersirat di dalamnya ada ilmu pengetahuan, serta dipercaya sumbernya bersih dari spekulasi dan kedustaan. Baik dari qissatun - qasasun dan naba'un - anba'un, naupun dari sejunlah fi'il itu, terlihat bahwa materi kisah-kisah Alquran berkisar pada cerita dan berita para rasul, keadaan umat terdahulu, serta gambaran sejumlah "kota" atau peradaban yang sejarahnya masih dapat ditelusuri, ataupun tidak. Sedang mengenai bentuk dan jenisnya, Alquran sendiri menyebutkan; dipilih cara pengisahan yang indah dan tegas, supaya dapat memberi kesan mendalam pada kalbu Nabi Muhammad saw. -dan para pengikutnya- serta merangsang untuk berfikir kreatif dan dinamis. Khusus bagi ulu al-albab -cendekiawan- kisah-kisah itu menjadi 'ibratan —obyek kajian dan analisis—. Qur’an tidak memilih kata kata hadith maupun hikayah, karena memang tujuan memberikan kisah adalah agar diikuti ajarannya
Kisah Alquran termaktub dalam bahasa Arab, bahasa masyarakat di mana Muhammad saw. diutus menjadi nabi dan rasul. Tidak tertutup kemungkinan adanya interaksi antara kisah-kisah Alquran yang bertumbuh dan berkembang saat itu, agar lebih memudahkan pemahaman dan penghayatan , masyarakat terhadap pengamalan ajaran-ajaran yang dikan-dung Alquran. Interaksi ini berlangsung terus, sejak tersiarnya agama Islam keluar jazirah Arab dan dianut oleh bangsa-bangsa yang memiliki corak kebudayaan beragam pula, sampai dewasa ini. Maka kisah-kisah dalam Alquran tetap akan menjadi rujukan, baik dari segi bentuk, maupun dari segi materinya.
Dalam bahasa Indonesia kisah ialah suatu karya sastra terhadap peristiwa-peristiwa yang dilakonkan oleh tokoh-tokoh tertentu; baik peristiwa nyata maupun khayalan. disusun atas dasar seni bahasa yang mempesona dengan menata peristiwa sedemikian rupa, mengurangi, menyembunyikan sebahagiannya, atau menambah- seperti hikayah yang bertujuan untuk hiburan.
Bentuk-bentuk tersebut, meski terdapat perbedaan dari kejelasan atau kesamaran,-dari segi intrinsiknya- pada suatu kisah paling tidak terdiri dari enam unsur: yaitu (a) peristiwa, (b) gaya bahasa, (c) bangunan kisah, (d) pelaku atau tokoh, (e) waktu dan tempat, dan (f) tema atau gagasan atau ide.
Penting ditegaskan bahwa menurut keyakinan umat Islam, kisah Alquran bukan karya sastra, baik dari segi sumber, tokoh, peristiwa dan tema; maupun dari segi bentuk dan cara pengungkapan. Alquran menggunakan kisah untuk tujuan keagamaan. Namun demikian karena aya.t-ayat yang mengandung kisah itu memiliki kesamaan unsur dengan kisah yang beredar di setiap bangsa dan masyarakat penganut agama Islam, serta terjadi interaksi, maka penafsiran terhadap ayat-ayat itu dapat saja didekati melalui pemaknaan tema-tema sentral kisah.
Kisah-kisah Alquran wawasannya ditekankan pada materi dan isi kisah yang terdapat dalam Alquran. Meliputi sejumlah peristiwa kronologis, dan sejumlah berita umat yang lampau, tercatat dalam sejarah, ataupun tidak, sejumlah kisah tamsiliyyah yang imajinatif.
Tidak semua surah dalam Qur’an mengandung kisah. Ada beberapa surat yang tidak mengandung kisah, misalnya surah annas, alfalaq, atau al ikhlas. Beberapa surah kaya dengan kisah atau memiliki lebih dari satu kisah Nabi. Misalnya surah baqarah yang memuat kisah Adam, Musa, dan Ibrahim, surah ali Imran, surah Qosos, dan beberapa surah lainnya.
Kisah-kisah dalam surat al-Baqarah bila ditelaah secara saksama dengan menggunakan pendekatan dan metode yang relevan, di samping akan mengungkapkan acuan nilai-nilai yang universal dan abadi, tidak dapat `1 disangkal, merupakan sumber ajaran dasar, juga sangat erat kaitannya dengan 'ijaz al-Qur'an dan cabang-cabang ilmu agama yang bersumber padanya, serta dengan asas dan tujuan pendidikan Islam dan cabang-cabang ilmu yang terkait dengannya pula.
Kajian ini adalah kajian terhadap surat al-Baqarah, yang terfokus pada kisah Adam, Musa, dan Ibrahim. Untuk mengkaji ayat-ayat yang berhubungan dengan pembahasan perlu bantuan beberapa tafsir antara lain, Tafsîr al-Marâghî oleh Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Qur`ân al’Azhîm oleh Ibn Katsîr, Tafsîr al-Mishbah oleh M. Quraish Shihab dan beberapa tafsir yang lain jika masih dibutuhkan.
Pembatasan penelitian ini dibatasi pada masalah sebagai berikut: (1) kisah-kisah dalam surat Baqarah, kesamaan dan perbedaan penerapan sistem dalam pengelompokan ayat,; (2) metode penafsiran kisah kisah al-Baqarah; (3) Persoalan metode yang dikembangkan tim depag dan hasil karya mereka. Apakah sudah terdapat kesesuaian antara metde yang dibuat dengan hasil karya tim depag yang tertuang dalam tafsir depag. Penelaahan akan dikhususkan terhadap. kisah-kisah dalam Baqarah dalam tafsir depag, serta solusi pemecahannya.
Alasan mengapa tiga persoalan ini yang dibahas, karena: (1) Kisah-kisah surat al-Baqarah mengemban ibarah yang harus disampaikan kepada seluruh ummat manusia maka perlu diketahui bagaimana sistem penafsiran yang dipakai tim depag; (2) Dalam tafsir depag mengandung unsur metode penafsiran, maka perlu dikaji bagaimana metode penafsiran dan hubungannya dengan yang terdapat di lapangan terutama yang berkaitan dengan kisah-kisah itu; (3) Kenyataan memang ada permasalahan dalam setiap karya manusia yang muncul dari perilaku manusia, maka perlu dikaji bagaimana solusi pemecahan permasalahan yang timbul.
Dalam menganilisis dari segi teks akan digunakan dengan hermeneutik. Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein berarti menafsirkan, maka kata benda hermeneia secara harfiah berarti penafsiran. Menurut istilah hermenetik adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Sehubungan dengan keterangan diatas, maka masalah dalam pembahasan ini adalah: bagaimana sistem yang diterapkan tim penafsir depag dalam kisah-kisah dalam surat al-Baqarah dan persoalan apa yang dapat dikaji dari segi hermenetika (metode panafsiran)? yang dapat Tercakup dalam rumusan itu beberapa sub masalah, yaitu:
1.Bagaimana sistem penafsiran Qur’an Depag?
2.Bagaiamana sistem itu diterapkan dalam menafsirkan kisah-kisah al-Baqarah?
3.Apa permasalahan penafsiran atau metode penafsiran yang muncul dalam kisah-kisah yang terdapat dalam surat al-Baqarah serta bagaimana solusi pemecahannya?
C. Tujuan dan manfaat
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengungkap secara lebih luas kisah kisah-kisah dalam surat al-Baqarah dalam tafsir Depag kisah kisah tersebut memiliki berbagai manfaat dan diusahakan untuk diungkap secara sederhana. Kisah-kisah tersebut oleh ummat Islam dianggap kisah-kisah terbaik, benar, dan mengandung ibarah, keteladanan, dan berbagai motivasi. Penelitian ini intinya merujuk pada ayat-ayat dalam al-Qur`ân.
2. Mengetahui sistem penafsiran kisah-kisah surat al-Baqarah yang diterapkan oleh team peanfsir
3. Mengetahui apakah metode yang diterapkan oleh tim penafsir depag sesuai dengan penafsiran yang ada dalam tafsir depag.
4. Melengkapi kelompok ayat dalam tafsir depag apabila belum sesuai dengan metode yang mereka buat, agar sesuai dengan metode yang telah ditentukan. Misalnya dengan ayat atau hadis atau pendapat ulama yang terdapat dalam buku Ibn Kathir, Maraghi, atau tafsir yang lain.
Sedangkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka kontektualisasi ajaran al-Qur`ân yang sesuai dengan tuntutan zaman, tanpa meninggalkan tekstual doktrinernya. Al-Qur`ân harus ditafsirkan agar dapat berfungsi sebagai petunjuk untuk seluruh umat manusia.
D. Kajian Pustaka
Pembahasan tentang Rasul Ibrahim, Musa, dan Adam antara lain terdapat dalam kitab Qishshah al-Anbiyâ karya Ibn Katsîr. Kitab tersebut membahas Kisah-Kisah para nabi, kisah Nabi Musa membahas tentang kisah penyembelihan sapi betina. Kitab ini ditulis berdasarkan al-Qur`ân, Hadîts, dan Atsar atas kehidupan mereka yang bersumber langsung dari Nabi Muhammad saw. Kitab tersebut dalam memberikan dasar dari hadits kadang-kadang diberi keterangan shahih dan tidaknya hadits tersebut, kadang-kadang tidak.
Sebagian dari kekurangannya dalam kitab ini adalah kurangnya analisa atau ketetapan dari penulis, misalnya kisah tentang pembunuhan yang terjadi di kalangan bani Israil yang melibatkan banyak hadis, sehingga pembaca dibuat agaka bingung, namun tidak ada ketetapan darinya mana yang benar.
Kajian kisah-kisah dalam surat al Baqarah masih perlu dibahas pada saat ini mengingat kisah-kisah tersebut merupakan dasar yang dapat dikaitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan dalam surat yang sama. Misalnya kisah Adam dapat dikaitkan dengan aturan perkawinan yang juga terdapat dalam surat al-Baqarah, begitu pula kisah Musa dapat dikaitkan dengan aturan perang, pembunuhan dalam surat yang sama, sedang kisah Ibrahim dapat dikaitkan dengan ajaran haji dalam surat itu pula. Tiga agama samawi, Yahudi, Nasrani dan Islam yang termasuk agama yang berasal dari Ibrahim,
Studi tentang tafsir atau teks dapat dilakukan dari berbagai macam teori termasuk teori penafsiran yang dikenal dengan hermeneutika (kajian terhadap metode tafsir). Penelitian dengan hermeneutika berbagai terhadap al-Qur`ân sudah ada yang melakukan.
Kajian tentang metode penafsiran terhadap kisah-kisah dalam surat Baqarah, khususunya Rasul Ibrahim yang dilakukan selama ini masih berserakan dalam beberapa kajian, maka perlu pengkajian khusus dari kisah Ibrahim dalam surat Baqarah.
Sebagai contoh, karya yang ditulis oleh Fakhruddin Faiz, yang berjudul Hermeneutika Qur`âni dalam tafsir al-Manar dan tafsir al-Azhar. Menurut Fakhruddin Faiz, kedua tafsir tersebut bercorak hermeneutik, sebab kedua tafsir tersebut dari aspek teks, konstek, dan konstektualisasi kedua tafsir tersebut amat kental, walaupun tak dapat diingkari bahwa ketiga aspek tersebut masih jarang bisa berjalan secara bersama-sama.
Contoh yang lain adalah disertasi yang ditulis Nur Jannah dengan judul: Wanita dalam surat al-Nisâ`, kajian terhadap tafsir al-Thabari, al-Razi, dan al-Manar yang menggunakan metode hermeneutika. Pembahasan yang paling penting adalah masalah asal-usul penciptaan wanita, kepemimpinan rumah tangga, warisan dan poligami.
Berbagai tafsir tersebut, ada kesepakatan bahwa wanita pertama adalah Hawa, Kepemimpinan rumah tangga adalah laki-laki, warisan wanita mendapat separoh dari laki-laki, poligami boleh asal dapat berbuat adil, maka jika tidak dapat berbuat adil lebih baik satu saja.
Uraian di atas, yang mengkaji secara khusus kisah-kisah dalam surat Baqarah dengan kajian heremeneutika belum penulis temukan.
E. Kerangka Teori
Hermeneutika atau metode tafsir, meskipun merupakan topik tua, akhir-akhir ini telah muncul sebagai sesuatu yang baru dan menarik dalam bidang tafsir al-Qur`ân dan teks-teks kitab suci maupun sastra dan ilmu sosial.
Kata hermeneutika berasal dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuin yang berarti “menjelaskan”, “menerjemahkan” dan “mengekspresikan”, kemudian berkembang menjadi cabang ilmu dan filsafat yang menyelidiki syarat-syarat dan aturan-aturan metodis yang dibutuhkan, baik dalam usaha memahami makna sebuah teks maupun dalam menafsirkan isi sebuah teks; apabila makna itu tidak jelas.
Hermeneutika pada awalnya berhubungan dengan teks tertulis, yang harus ditangkap maknanya berdasarkan hubungan-hubungan kebahasaan yang ada dalam teks, konteks dimana teks tersebut diciptakan atau hubungan antara teks dan situasi kondisi pengarangnya. Dengan demikian teks bisa dilihat dalam berbagai hubungan yang berbeda, sekalipun berkaitan satu sama lain. Jadi sebuah teks bisa dilihat dalam hubungan dengan dirinya (aspek tekstual), bisa pula dilihat dari hubungan dengan pengarang (aspek autorial) dan bisa dilihat pula dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan atau diproduksi (aspek kontekstual) atau dalam hubungan dengan pembaca teks (aspek reseptionis).
Dalam bahasa lisan hermeneutika dianggap tidak berperan, karena hubungan langsung antara pembicara dan pendengar membuat hal yang tidak jelas menjadi jelas dengan tanya jawab. Jadi hermeneutika berurusan dengan pengertian makna sebuah teks tertulis, maka diajukan interpretasi sebagai jalan untuk memperbaiki dan memulihkan pengertian yang terhalang dalam menangkap makna teks tersebut.
Dalam sejarah perkembangannya, hermeneutika mengalami beberapa tahap perkembangan. Pada awalnya, hermeneutika muncul sebagai metode eksegesis untuk menafsirkan teks kitab suci, lalu berkembang menjadi metode filologi untuk menafsirkan teks-teks sastra klasik Yunani dan Latin. Selanjutnya untuk Scheiermacher metode ini dibakukan menjadi metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra klasik. Dilthey kemudian menerapkannya menjadi metode sejarah. Sedangkan Gadamer menjadikannya sebagai metode filsafat dan pada pada perkembangannya, saat ini sebagai sebuah metode baik untuk filsafat, teologi, maupun untuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora.
Tentu saja pendekatan hermeneutika hanya salah satu dari jalan-jalan yang tersedia dalam ilmu humaniora untuk mendekati persoalan makna sebuah teks tertulis. Tulisan ini dilakukan sebagai usaha melihat dan memahami sebuah teks dengan bantuan teori yang dikenal, karena dalam membaca sebuah teks, bantuan teori seringkali sangat besar manfaatnya dalam memahami sebuah teks tertulis yang bersifat umum, seperti al-Qur`ân, teori Gadamer bisa dipakai.
Apabila dicermati, ternyata metode penafsiran Gadamer bukanlah sesuatu yang baru dalam penafsiran al-Qur`ân, sebab sebelumnya sudah ada dalam penafsiran al-Qur`ân seperti al-Biqâî. Al-Biqâî dalam usaha memecahkan misteri susunan ayat yang menerangkan hubungan beberapa nabi dari keturunan Nûh sekaligus yang sistematikanya nampak kacau dan tidak kronologis, dengan mengaitkan peristiwa lain dalam al-Qur`ân dan sejarah sosial yang ada. Misalnya Q.S. al-An’âm(6/55): ayat 83 – 86
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا ءَاتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ(83) وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(84) وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ(85) وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ(86)
Dan itulah hujjah Kami, yang Kami berikan kepada Ibrâhîm untuk menghadapi kaumnya, Kami tinggikan beberapa derajat siapa yang Kami Kehendaki, Sesungguhnya Tuhanmu Maha bijaksana lagi Maha Mengetatahui, Ishâq dan Ya’qûb. Kepada keduanya masing-masing telah kami beri petunjuk, dan kepada Nûh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nûh) yaitu Dawud, Sulaymân, Ayyûb, Yûsuf, Mûsâ, dan Harun. Demikianlah Kami beri balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (84). Dan Zakaria, Yahyâ, ‘Îsâ , dan Ilyâs, semuanya termasuk orang-orang yang saleh (85). Dan Ismâ’îl, Ilyasa’, Yûnus, dan Lûth, masing-masing kami lebihkan derajatnya atas umat pada zamannya (86).
Bila ayat-ayat ini ditinjau dari waktu diutusnya, akan nampak kacau, karena Nabi yang datang sesudah Ya’qûb adalah Yûsuf, tapi disini ditulis Dâwud. Lalu sistematika apa yang dipakai? Dengan jeli al-Biqâ’î dapat menangkap sudut pandang sistematika yang lain yaitu kedekatan para nabi tersebut dengan para penguasa.
Ayat-ayat diatas menurut al-Biqâ’î adalah dalam rangka menjelaskan anugerah Allah kepada Ibrâhîm as. Anugerah tersebut di samping sebagai hujjah (bukti nyata tentang kebenarani) juga merupakan pemberian dari Allah yang berwujud dalam sosok putra-putranya. Yang pertama disebut adalah putra yang tidak berpisah dengannya yaitu Ishâq, dan putra Ishâq yaitu Ya’qûb, karena Ya’qûb ayah para nabi Bani Israil. Di sini Nûh disebut agar tidak timbul kesan bahwa anugerah tersebut diperoleh mereka dengan melupakan orang tua, apalagi Nûh as. adalah leluhur kesepuluh Ibrâhîm yang paling mulia, karena beliaulah manusia pertama yang melarang penyembahan berhala.
Ismâ'îl tidak disebut bergandengan dengan ayahnya, sebagaimana Yûsuf, karena kedua nabi ini memang berpisah dengan ayahnya semenjak kecil. Ismâ'îl ditinggal ayahnya di Makkah dan Yûsuf dijerumuskan ke sumur tua oleh saudaranya dan dipungut oleh kafilah serta dipelihara oleh penguasa Mesir.
Ayat-ayat yang nampak kacau sistematikanya ini, al-Biqâ’î menggunakan hubungan interteks – munasabah antar ayat dalam satu surat (sebagaimana dikemukakan Gadamer sebagai interpretasi produktif) dan sejarah sosial yang ada.
Ide tentang keserasian ayat-ayat dalam satu surah sebenarnya sudah ada sejak al-Qur`ân diturunkan. Walaupun al-Qur`ân tidak diturunkan secara berurutan, namun sebagaimana diyakini para sahabat – Nabi menyusun ayat-ayat yang turun ke dalam surat-surat yang serasi dan tempat tertentu atas petunjuk Allah (tawqîfî).
Melihat keunikan sistematika al-Qur`ân tersebut, muncullah kajian mengenai sistematika al-Qur`ân baik dari sisi maknanya yaitu keterkaitan makna dalam ayat – antar ayat, atau antar kalimat dalam satu ayat atau antar surat yang kemudian oleh para ulama diperkenalkan dengan al-munâsabah atau ilmu munâsabah.
Al-munâsabah adalah kata bentukan berupa ism masdar dari fi’il mazîd nâsaba yang memiliki tiga arti: (1) berhubungan dengan keluarga dan dekat, (2) menyerupai, dan (3) menyelaraskan atau menyerasikan antara dua hal. Jika arti-arti tersebut ditarik dalam pengertian ‘Ulum al-Qur`ân berarti al-Munâsabah adalah hubungan kedekatan dan keserasian/keselarasan dalam al-Qur`ân.
Dari segi materi, munâsabah digolongkan menjadi 3 macam yaitu: munâsabah antar kalimat, munâsabah antara ayat dan munâsabah antar surat.
Penelitian terhadap sebuah kitab, unsur sejarah yang melingkupi hal yang diteliti dianggap para peneliti sangat penting. Terutama bila dilakukan dengan pendekatan studi metode penafsiran. Maka dalam menginterpretasikan peristiwa sejarah itu peneliti haruslah melalui pendekatan ganda (multiple approach) yang mencakup berbagai aspek agama, politik, sosial budaya, ideologi, geografis dan sebagainya. Dengan demikian dimungkinkan unsur obyektifitas dapat dicapai secara maksimal. Maka dalam mengadakan kritik historis, diusahakan untuk menghindari adanya pemaksaan terhadap ide dan pemikiran yang terkandung dalam teks, yaitu menghindari pandangan subyektif. Oleh karena itu analisis historisnya akan dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Scheiermarcher menjelaskan bahwa untuk mengerti suatu teks masa lampau orang harus keluar dari zamannya dan membangun kembali masa lampau ketika pengarang teks itu masih hidup, sehingga dapat dikenali dengan baik suasana penulisanya. Orang mesti membayangkan bagaimana pemikiran, perasan, dan maksud pengarang. Dengan kata lain, penafsiran merupakan sebuah kerja reproduktif, mengulang lagi apa yang dulu telah dilakukan. Untuk masuk ke dalam kekinian, maka makna teks tidak terbatas pada pesan yang dikehendaki pengarangnya karena teks bersifat terbuka dan pemaknaan oleh pembacanya. Atas dasar itu penafsiran merupakan sebuah kegiatan produktif yang memberikan makna yang potensial yang terkandung dalam teks itu. Lebih tepatnya mengaktualkan potensi-potensi makna yang terkandung dalam teks itu. Kemudian harus ada kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami untuk dibawa ke masa sekarang.
F. Metode Penelitian
Berdasarkan masalah yang dijadikan pusat perhatian dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu dikumpulkan data-data yang selanjutnya akan dianalisis. Penelitian ini memusatkan penelitian kepustakaan yang sifatnya deskriptif analitis. Dengan demikian data sepenuhnya diperoleh menghindari hasil telaah literatur, lalu dideskripsikan seobyektif mungkin dan dianalisa Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara metode induktif dan komparatif dengan menggunakan pendekatan metode penafsiran. Metode induktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran utuh tentang kisah dalam surat Baqarah. Adapun metode komparatif dipergunakan untuk membandingkan pendapat para mufassir satu sama lain yang berhubungan dengan kisah-kisah dalam surat Baqarah tersebut. Serta membandingkan cara-cara penafsiran tim depag, satu kelompok ayat dengan kelompok lain dan para penafsir seperti maraghi, ibn Kathir, dan Quraish Shihab.
Langkah-langkah yang hendak ditempuh dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur`ân adalah: (1) Menghimpun kelompok-kelompok yang berkaitan dengan kisah-kisah dalam surat Baqarah, caranya dengan melihat dari sistem yang dibuat tim depag, dan menerapkan sistem tersebut dalam kelompok ayat ayat yang sudah ada. (2) Mengklasifikasi kelompok ayat sesuai dengan dengan urutan dari surat al-Baqarah; (3) Menjelaskan kelompok ayat dengan mengemukakan asbâb al-nuzûl-nya jika ada; (4) Kata kunci dalam ayat dijelaskan dengan mengambil dari kamus dalam menyelesaikan masalah, beberapa tafsir, buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan kisah-kisah dalam Baqarah; (5) Melengkapi dengan hadits yang relevan dengan pokok bahasan jika masih diperlukan.
Adapun hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau suatu cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks untuk dicari maknanya. Metode hermeneutika ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
Hasan Hanafi menyatakan bahwa hermeneutika itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.
Adapun yang dimaksud dengan hermeneutika dalam penelitian ini, adalah salah satu bentuk metoda penafsiran kitab suci, yang di dalam pengoperasiannya untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat), selalu harus berdasarkan hubungan- hubungan kebahasaan yang ada dalam teks, konteks di mana teks tersebut diciptakan atau hubungan antara teks dan situasi sosial pengarangnya. Dengan demikian teks bisa dilihat dalam berbagai hubungan yang berbeda, sekalipun berkaitan satu sama lain. Jadi sebuah teks bisa dilihat dalam hubungan dengan dirinya (aspek tekstual), bisa dilihat dari hubungan dengan pengarang (aspek autorial) dan bisa dilihat pula dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan atau diproduksi (aspek kontekstual) atau dalam hubungan dengan pembaca teks (aspek resepsionis).
Perilaku pembaca atau peneliti tafsir depag dapat diamati dari berbagai teori. Dalam tulisan ini mereka akan dicoba diamati dengan teori interpretive yang dikembangkan Packer (1985). Packer menyebut teori interpretifnya dengan hermenetika fenomenologis, suatu teori yang berakar dari tulisan Heidegger. Hermenetika fenomenologis yang diajukan oleh Heidegger (American Psychologist (bendera psikologi Amerika ) dalam Packer, 1985) digunakan untuk mencermati perilaku individu yang berubah dari kebiasaan atau pekerjaan yang dilakukan secara teratur, tetapi kemudian muncul persoalan yang tidak dapat dipecahkan. Misalnya pembaca tafsir yang sudah menguasai sistem penafsiran depag, , kemudian secara mendadak terjadi perubahan yang diduga akan memunculkan berbagai masalah yang menurut sementara ahli, memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengatasinya baik dari segi afektif maupun kognitif. Kemudian dicari suatu pemahaman baru, pendalaman baru tentang seluk beluk kehidupan yang akan menjadi jalan keluar sesuai prosedur yang ada. Pengamat yang telitibiasanya memiliki kebiasaan tertentu yang kemudian kebiasaan yang dianggap sepele, atau benar, memperoleh tantangan, baik dari diskusi, misalnya tafsir penyembelihan sapi betina. Hal ini berbeda dengan sistem yang dikembangkan oleh tim penafsir depag.
Heidegger dalam bukunya “Being and Time” memperkenalkan tiga istilah untuk
: “present-at-hand”, “ready-to-hand” dan unready to hand. Heidegger menekankan bahwa interaksi manusia dengan dunianya terutama tidak didasari oleh kognisi manusia dan teori tetapi dengan berbagai pemahaman yang berkembang dari praktek. Walaupun Heidegger memberikan misal yang sangat terkenal dari kerja seorang tukang kayu yang mahir dalam menggunakan palu (Packer, 1985), konsep yang sama dapat diterapkan dengan kerja para pemerhati tafsir quran yang menguasai metode yang dikembangkan penafsir untuk mengevaluasi hasil tafsir yang dibuat. Para peneliti perilaku manusia yang ahli akan sepakat bahwa manusia hanya menggunakan sedikit kesadaran tatkala melakukan pekerjaan yang rutin, misalnya seorang yang menelaah karya tafsir tidak memperhatikan secara penuh bagian-bagian tubuh yang terlibat dalam proses membaca. Menurut Heidegger, hal terjadi ini karena manusia biasanya bertindak sebagai pilot otomatis, seakan-akan segala sesuatu terlihat transparan. Inilah yang disebut sebagai the ready-to-hand mode dimana manusia melaksanakan kebanyakan tugas manusia sebagai bagian keberadaan manusia di dunia.
Ready to hand merupakan gaya atau pendekatan yang paling mendasar terhadap tindak tanduk manusia. Ini merupakan gaya tatkala individu melakukan projek praktis di dunia, seperti pengajar orang untuk mngirimkan surat, berbicara dengan kawan, mengawasi ujian, atau bila digunakan contoh yang digunakan Heidegger tukang kayu dengan palunya. Tatkala ia membangun rumah, perhatiannya adalah bukan pada paku, ibu jari, telapak tangan, tetapi pada tindakan memukul. berkaitan dengan pemerhati tafsir adalah menelaah. Takala mereka melakukan kegiatan membaca, kesadaran mereka secara menyeluruh terfokus pada penelaahan tafsir. Mereka tidak memperhatikan gerakan telapak kaki manusia, siku, punggung, paha secara terpisah-pisah, tetapi menyeluruh. Jadi kesadaran mereka merupakan yang bersifat menyeluruh, manusia sadar dari situasi manusia temukan diri manusia di dalamnya, bukan merupakan suatu rangkaian atau susunan objek objek fisik yang diskrit, dan bukan sebagai suatu bagian dari bentuk fisik alam, tetapi secara global, sebagaimana keseluruhan jaringan berhubungan satu sama lain, objek yang saling berkaitan, dan seterusnya.
Alat apa saja yang manusia gunakan, seperti pengetahuan tata bahasa, mata kaki telinga hati, kulit tidak dirasakan atau dialami sebagai suatu entitas yang terpisah yang dapat dirasakan secara terpisah. Tatkala manusia terlibat dalam kegiatan praktis, manusia tidak perlu kesadaran penuh terhadap diri manusia atau alat alat yang digunakan, keduanya menjadi lebur dalam kegiatan. Pengalaman peneliti bukan pada palu, grammar, tata bahasa, qur’an, kayu, atau paku sebagai entitas yang independen. Tetapi menelaah, mempelajari, memahami makna dengan pengetahuan mereka yang terdahulu seperti berdakwah, meninggikan tembok, atau mengkonstruksikan suatu rumah.
Keadaan ini akan berubah bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan sehingga manusia menggunakan perhatian yang disadari terhadap tugas dan berubah menjadi the present-at-hand mode. Present-at-hand mode dimasuki tatkala manusia terputus, terisolasi dari keterlibatan praktis yang sedang berlangsung , biasanya karena individu tidak mampu menemukan suatu jalan langsung yang cermat untuk memecahkan persoalan yang muncul. Dalam keadaan ini individu harus melangkah kebelakang, melakukan refeksi, dan berpaling ke arah piranti atau alat yang lebih umum dan abstrak, seperti analisis logis dan perhitungan dalam rangka memecahkan masalah. Dalam hal ini pengalaman individu berubah karakternya, dan menjadi sadar, sebagai contoh dalam kisah surat Baqarah, pembaca yang sedang asyik menelaah kelompok ayat atau buku tafsir Depag berkenaan dengan kisah sapi betina hadis dan ayat ayat yang menguatkan kisah adam dan bani israil mendadak tidak menemukan hadis maupun ayat Qur'an atau hadis yang memperluas kisah penyembelihan sapi betina yang menjadi pokok cerita dalam surat baqarah, atau menemukan penjelasan dari tim penafsir yang ternyata berasal dari hadis tanpa diberi penjelasan bahwa penjelasan tersebut bukan dari hadis atau hadis yang tidak disertai dengan rawi.
Situasi ini lain dengan unready to hand mode yang masalahnya masih dapat dipahami. Misalnya hadis yang terlalu sedikit, ketiadaan hadis atau ayat ayat Qur’an yang kurang representatif Sedang present at hand mode memang persoalannya Nampak gelap dan belum diketahui pemecahannya. Misalnya kasus penafsiran ayat ayat penyembelihan sapi betina, tatkala ditanyakan mana hadis yang berasal nabi, atau ayat qur’an yang mendukung.. Karena menjadi kebiasaan maka dalam banyak situasi merupakan tindakan yang tidak reflektif. Tumpukan hadis dan berbagai ayat ayat dari surat lain sudah siap digunakan (‘ready-to-hand’) dan tindakan selanjutnya yang sering dilakukan adalah mencocokkan atau menelaah ayat yang ada dalam tafsir depag dengan ayat lain yang bersesuaian atau hadis lain yang bersesuaian. Interaksi ready-to-hand ini tidak akan memunculkan keraguan. Keraguan akan muncul pada prakondisi untuk mengubah pola itu sendiri. Heidegger memberi beberapa contoh bagaimana keraguan dapat nampak yang akhirnya permasalahan akan menjadi ‘present-at-hand’ lagi: yaitu tatkala alat tidak berfungsi sebagaimana diharapkan (ketika mengadu argument, ia mentok, misalnya pembaca menemukan dan menghafal banyak hadis dan ayat yang relevan tetapi tidak muncul dalam penafsiran, tatkala alat yang digunakan tidak tersedia, atau tatkala peralatan jauh dari tujuan yang akan dicapai.
Pembaca yang aktif dengan sistem yang dikembangkan tim, tiba pada rutinitas pemahaman bahwa kelompok surat akan dikerjakan sesuai dengan sistem yang dikembangkan sudah menjadi rutinitas (ready-to-hand mode), lalu tatkala tiba-tiba ia menemui kelompok surat tanpa hadis maupun tambahan ayat yang memperkuat, keadaan ini akan memunculkan persoalan. Dalam kenyataannya pemahaman yang mendasari pandangan pandangan mereka terhadap situasi emosi maupun kognisi masih lebih banyak didasari oleh informasi mereka di masa lalu, karena mereka hanya memiliki waktu yang sedikit untuk menerapkan teori baru yang mereka miliki ke dalam praktek. Dengan kata lain, konsep, teori baru yang telah diperkenalkan, yang tidak diterapkan dalam praktek, akan tetap present-at hand dan akibatnya hanya akan memiliki pengaruh sedikit terhadap perilaku mereka. Kosongnya kelompok dari penafsiran, perdebatan logis ini yang membuat ready to hand mode menjadi present at hand.
Sesuai dengan judul dan latar belakang munculnya permasalahan, untuk pengumpulan data, penulis mengadakan penelitian kepustakaan, dan untuk analisisnya menggunakan pendekatan hermenetis.
Pendekatan hermeneutika. Mengenai hermeneutika ini intinya adalah penelaahan dan mencermati apakah ada kesesuasian antara metode yang digariskan oleh tim penafsir depag dengan hasil penafsiran mereka. Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan yang perlu dijelaskan. Pertanyaan pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. apakah ada ayat ayat yang berasal dari selain surat baqarah yang memperjelas ayat ayat yang ssedang ditafsirkan dalam salah satu pokok bahasan (misalnya dalam kisah Adam)?
2. apakah ada hadis atau sejumlah hadis yang digunakan dalam menjelaskan kelompok ayat ayat tertentu dalam hal ini kisah Adam?
Sistematika Pembahasan
Untuk memenuhi tujuan penelitian dengan metode penelitian sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka urut-urutannya sebagai berikut:
Pada bagian awal, dikemukakan latar belakang masalah, batasan dan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan tulisan, kajian pustaka, kerangka teori, metode yang diterapkan, dan sistematika pembahasan Sebagai bahasan awal pada bab selanjutnya, dikemukakan batasan Kisah, Nabi Adam atau Ibrohim, atau Musa yang menjadi tugas mahasiswa, kesamaan dan perbedaan yang ada
Bahasan selanjutnya melihat kesesuaian antara metode yang ditentukan tim depag, dengan apa yang terdapat pada teks tafsir depag.
Pada bagian penutup berisi kesimpulan, kemudian dilanjutkan saran-saran penulis.
Telaah terhadap tafsir Depag (footnotes kurang lengkap)
Kesesuaian antara Metode penafsiran departemen Agama dan Hasil Penafsiran
Pembahasan
Metode atau System penafsiran Alquran depag, dewan memekai system sbb:
Ayat2 yang berhubungan dengan salah satu masalah dikelompokan dan diberi judul kemudian dijelaskan hubungan kelompok ayat2 itu dengan kelompok ayat sebelumnya. Jika ada riwayat yang menerangkan sebab turunnya suatu ayat maka sebab2 turunnya dijadikan salah satu dasar penafsiran ayat tersebut. Karena itu kita mendasarkan penafsiran pada hadist-hadist Rasulullah SAW dan penjelasan para sahabat tentang ayat-ayat itu. Kemudian barulah ditinjau urutan dan pendapat para ulama dan para ahli tafsir yang telah mentafsirkan ayat-ayat itu. Selain itu diperhatikan pula ayat-ayat lain yang ada hubungannya dengan ayat yang sedang ditafsirkan itu. Pada akhirnya dibuat kesimpulan dari penafsiran itu.
Sebagai pedoman pokok dalam penafsiran dipakai kitab-kitab tafsir :
1. Tafsir Al maraghi oleh Mustafa al Maragi.
2. Tafsir Mahasinut Ta’wil oleh Al-Qasimy
3. Tafsir Anwarut Tanzil wa asraut Tafsil oleh Al Baidwy
4. Tafsir Al-Quran Karim oleh Ibnu Kasir.
Setelah seluruh penafsiran Al-Quran selesai, maka Al-Quran dan Tafsirnya dibagi atas sepuluh jilid, tiap-tiap jilid berisi 3 juz. Disamping itu ada lagi satu jilid khusus yang diberi nama “Mukadimah Al Quran dan Tafsirnya” sehingga seluruhnya berjumlah 11 jilid.
a. Kita perlu belajar tarjamah Al-Quran dan tafsirnya karena dengan begitu kita sebagai umat islam mengerti dan memahami tentang apa sebenarnya isi dari kitab suci kita sendiri, yaitu Al-Quran. Dengan begitu, setiap perilaku kita diharapkan dapat mencerminkan akan apa yang kita pahami dalam Al-Quran. Sesuai dengan ajaran agama dan menghindari perilaku yang dilarang atau tidak sesuai dengan ajaran agama kita. Sehingga diharapkan kita dapat menjadi orang yang sehat secara mental dan fisik.
b. Sistem penafsiran Depag adalah dengan mengelompokkan menjadi satu, ayat-ayat yang merupakan termasuk dalam satu pokok bahasan atau satu permasalahan yang sama.
c. QS Al Baqarah ayat 34-36
ADAM DI DALAM SURGA (KEDUDUKAN DAN KEAGUNGAN MANUSIA YANG TINGGI)
(34) Dan ketika Kami berfirman kepada para maliakat:”Sujudlah kalian ke hadapan Adam.” Mereka semua bersujud kecuali Iblis. Dia menolak dan takabur, dan karenanya dia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (35) Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu (surga) ini dan makanlah makanan-makanannya (oleh kalian berdua) mana saja yang kamu sukai, tapi janganlah mendekati pohon oni, kalau tidak maka kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim. (36) Lalu setan menggelincirkan mereka, dan mengeluarkan mereka dari keadaan (bahagia) yang mereka pernah rasakan. Dan Kami berfirman : “Turunlah kalian semua, dan sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi dan sarana rezekimu untuk sementara waktu.”
POKOK BAHASAN
Dalam pernyataan-pernyataan sebelumnya dikisahkan kedudukan dan keagungan manusia yang tinggi. Al-Quran mengatakan, “Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kalian kepada Adam.’ Mereka semua bersujud kecuali iblis; dia menolak dan takabur,…”
Ayat di atas adalah bukti atas keagungan dan kemuliaan manusia, sehingga setelah diciptakan, para malaikat harus hormat dan tunduk pada makhluk luar biasa ini. Manusia benar-benar layak menjadi wakil dan khalifah-Nya di bumi, layak membesarkan dari benihnya, beberapa anak yang terhormat dan suci, yang beberapa di antaranya menjadi para nabi, yang pantas memperoleh kehormatan semacam ini.
d. Tafsir ini sudah sesuai dengan sistem atau metode tafsir Depag, karena ayat-ayat yang membahas tentang satu masalah yang sama, telah dikelompokkan menjadi satu kelompok, seperti contoh pokok bahasan yang saya kemukakan di atas.
e. Ada hadis yang memperjelas penafsiran.
Bukti:
Dalam kitab ‘Uyun Al- Akhbar karya Syaikh Shaduq, disebutkan bahwasanya Imam Ali bin Musa ar-Ridha as berkata, ”Sujudnya para malaikat kepada Allah adalah ibadah pada satu sisi, dan di sisi lain, sujudnya mereka kepada Adam as adalah karena ketaatan dan penghormatan karena kami (Ahlulbait) dalam benihnya.”
f. Ada ayat Al-Quran yang memperjelas penafsiran.
Bukti:
Salah satu ayat yang menggambarkan bahwa iblis berasal dari jin adalah sbb: “ Dan tatkala Kami katakan kepada para malaikat:’Sujudlah kalian kepada Adam.’ Mereka semua merendahkan diri mereka sendiri kecuali iblis; dia dari golongan jin,…” (QS Al Kahfi [18] :50).
Karena itu, iblis menolak untuk sujud kepada Adam, karena menurut Al-Quran (ayat di atas) iblis tidak sama dengan para malaikat, tetapi berasal dari genus lain, yaitu genus jin.
g. Tidak ada pendapat ulama yang memperluas tafsir ini.
h. Aspek psikologis dari tafsir adalah bahwa kita para manusia memiliki kedudukan yang mulia dan tinggi dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Karena itu hendaknya kita berperilaku yang mulia juga, sesuai dengan ajaran agama, sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadis. Sehingga jiwa dan perilaku kita terbebas dari hal-hal yang tidak baik dan sesat.
i. Kritik dan saran: Hendaknya bahasa yang dipergunakan dalam tafsir dan pokok bahasan lebih sederhana, sehingga tidak terjadi kebingungan dan kesulitan dalam memahami isi dari tafsir tersebut. Sehingga tidak muncul satu pemahaman lain karena tidak mengerti betul akan maksud dari tafsir tersebut.
j. Penjelasan yang tidak ada dasarnya dari Al-Quran, hadis maupun ulama yang di sebut namanya:
Adam as diciptakan untuk menetap di bumi, dunia ini. Namun Dia menempatkan Adam (beserta istrinya) di dalam sebuah kebun yang indah dan makmur, penuh dengan kenikmatan dan bebas dari segala kesulitan dan kekurangan.
Peristiwa ini terjadi, mungkin karena Adam tidak mengetahui proses hidup di bumi. Ia mengalami kesulitan untuk menanggung segala masalah di sana dengan segera. Karena itu, pertama-tama dia mesti mendapatkan informasi tambahan mengenai bentuk kehidupan yang akan dihadapi di bumi dan karenanya dia harus tetap di surga untuk waktu yang lama dan mempelajari keahlian-keahlian yang penting di sana agar mengetahui bahwa kehidupan di dunia diiringi berbagai tanggung jawab dan tugas-tugas yang akan membuahkan kebahagiaan, pertumbuhan dan kelangsungan karunia apabila dipenuhi. Sedangkan kalau ditolak, akan mengakibatkan penderitaan dan kesulitan.
Kekurangan: Tidak ada footnotes
AYAT 30, 31, 32, 33 34
TAFSIR AYAT 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’. Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”.
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.
[Al-Baqarah: 30]
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman Allah SWT:
“Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi”.
[Al-An’am: 165]
“dan menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi”.
[An-Naml: 62]
Pada ayat ini juga menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat manusia. Dalam penciptaan manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkap dalam bentuk dialog dan musyawarah sebelum melakukan penciptaan. Ayat ini termasuk diantara ayat mutasyabih (tidak mungkin hanya ditafsirkan dengan makna zahirnya saja). Sebab, jika manusia artikan Allah mengadakan musyawarah dengan hamba-Nya, hal ini merupakan kejadian yang sangat mustahil. Karenanya, terkadang diartikan pemberitahuan Allah kepada Malaikat, yang kemudian Malaikat mengadakan sanggahan (bantahan). Pengertian ini pun tidak bisa dinisbatkan kepada Allah maupun Malaikat. Sebab Al-Qur’ah telah menegaskan sifat-sifat Malaikat dalam salah satu ayat:(I : 68)
“……yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
[At-Tahrim, 66: 6] (M : 132)
Malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia, ada yang bertugas mencatat amal-amal manusia,(Q : 140) ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian ini juga, kelak ketika dietahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam dialog Allah dengan para Malaikat, “Sesungguhnya aku akan menciptakan khalifah di dunia” demikian penyampaian Allah SWT. Penyampaian ini bisa jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut, para Malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasar asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan Malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih menyucikan Allah SWT. Pertanyaan mereka itu juga bisa lahir dari penamaan Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan khalifah. Kata ini mengesankan makna pelerai perselisihan antara penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada diantara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah. Bisa jadi demikian dugaan Malaikat sehingga muncul pertanyaan mereka. (M : 141)
Menurut Ibn Kathir pada mulanya Allah memberitahukan kepada para Malaikat, “Apabila di muka bumi terdapat makhluk, niscaya makhluk itu akan menimbulkan kerusakan padanya dan suka mengalirkan darah”. Oleh sebab itu mereka mengatakan, sebagaimana tersebut dalam surat Baqarah ayat 30 “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?”. (I : 370)
Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?”.
[Al-Baqarah: 30]
Karena sesungguhnya mereka (para Malaikat) bermaksud bahwa diantara jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal tersebut, seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus, atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah SWT memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis makhluk ini dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa yang dimaksud dengan khalifah adalah orang yang melerai persengketaan di antara manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Demikianlah menurut Al-Qurtubi. Atau para Malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk sebelumnya, sebagaimana yang akan dikemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir. (I: 359)
Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya, yang pasti adalah mereka bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencana-Nya.
Apakah, bukan “mengapa”, seperti dalam beberapa terjemahan, “Engkau akan menjadikan khalifah di bumi siapa yang akan merusak dan menumpahkan darah?”. Bisa saja bukan Adam yang mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya. (I : 360)
Ucapan para Malaikat ini bukan menentang atau memprotes Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama tafsir. Sesungguhnya Allah SWT menyifati para Malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah SWT, yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi mereka mengemukakannya. (I: 361)
Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk – menurut Qatadah –, para Malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi). (I: 361)
Rupanya mereka menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan tasbih dan tahmid, karena itu para Malaikat melanjutnya pertanyaan mereka, Sedang kami menyucikan, yakni menjauhkan Dzat, sifat dan perbuatan-Mu dari segala yang tidak wajar bagi-Mu, sambil memuji-Mu atas segala nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, termasuk mengilhami kami menyucikan dan memuji-Mu. (Q: 143)
Patut diketahui disini, para Malaikat menekankan pada tiga aspek mengenai karakteristik mereka: tasbih (pengagungan), hamd (tahmid/ pujian) dan taqdis (penyucian). Jelas, maknanya pertama dan kedua adalah memuji-Nya dan mengetahui-Nya dan keagungan-Nya benar-benar suci dan sempurna, bebas dari kekotoran atau ketaksempurnaan (imperfection) atau dari apa saja yang hina. Namun apakah gerangan makna hakiki dari taqdis (penyucian)? Sebagian mufassir menganggapnya sebagai penyucian Allah dari segala macam ketaksempurnaan yang juga factual merupakan penekanan atas makna tasbih (pengagungan)1.
Seperti yang dapat dipahami dari kata-kata mereka, para Malaikat telah memahami bahwa manusia itu bukanlah makhluk yang patuh. Dia berbuat kerusakan, menumpahkan darah, melakukan keburukan, dan sebagainya. Namun mengapa mereka mengetahuinya?2
Kadang-kadang disebutkan, Allah telah mengandarkan kepada Malaikat sebelumnya tentang masa depan manusia secara singkat, sedangkan kelompok ahli tafsir melontarkan pendapat bahwa mungkin saja para Malaikat mengetahui perkara ini dari kata fil ‘ardh (di muka bumi). Mereka mafhum, manusia akan diciptakan dari tanah, dan karena kepelikan ‘unsur’ ini maka secara alami akan menjadi sumber konflik dan kesulitan. Sebab, dunia yang mengandung unsur ini tidak dapat memenuhi sifat manusia yang tamak. Bahkan, sekiranya seluruh dunia diberikan pada seseorang, maka orang tersebut tetap tidak akan terpuaskan. Keadaan ini terkadang dapat menjadi sumber utama kejahatan dan pertumpahan darah khususnya ketika tidak ada cukup rasa tanggung jawab.3
Akan tetapi, dalam ayat ini, jawaban Allah pada mereka merupakan jawaban yang rumit yang detail-detailnya akan disampaikan dalam ayat-ayat selanjutnya.4
“Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’”.
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada keruskan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul, diantara mereka ada para shiddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusuk, dan orang-orang yang cinta kepada Allah SWT lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya. (I : 361)
Mereka tidak tahu bahwasannya dalam benih Adam akan ada banyak nabi besar seperti Muhammad SAW, Ibrahim as, Nuh as, Musa as, Isa as, dan para imam seperti duabelas imam maksum (Ahlulbait) as selain banyak lagi para mukminin sejati, syuhada, dan banyak manusia besar, baik laki-laki ataupun wanita yang dengan suka rela menyumbangkan hartanya di jalan Allah. akan muncul beberapa anak cucu Adam yang mana satu jam perenungannya sama dengan bertahun-tahun ibadahnya para Malaikat.5
Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?”.
[Al-Baqarah: 30]
Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu. Mereka mengatakan, “Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padalah diantara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami slalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau,” yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana yang akan disebutkan kanti. Dengan kata lain (seakan-akan para Malaikat mengatakan), “Kami tidak pernah melakukan sesuatu pun dari hal itu (kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup hanya dengan kami para Malaikat saja?”. (I : 363)
Untuk menjawab pertanyaan para Malaikat ini, Allah memberi pengertian kepada mereka dengan cara ilham agar mereka tunduk dan taat kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Sebab, sesuatu yang diluar jangkauan pikiran seseorang, maka bagi orang yang lebih mengetahui hal tersebut bukanlah merupakan misteri. Ringkasnya, jawaban seperti ini sudah tegas dan jelas serta tidak membingungkan pihak penanya. Karenanya, Allah lebih mengutamakan jenis makhluk ini (manusia) dibanding Malaikat. Kemudian Allah menjelaskan hikmah yang terkandung di dalam penciptaan-Nya ini. (I : 362)
Namun, Allah puas menciptakan suatu makhluk di atas segala makhluk di alam raya, makhluk terbaik, yang cocok menjadi seorang khalifah Allah, walik Allah di muka bumi. 6
Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi …..”. [Shad, 38: 26]
Pengangkatan khalifah ini menyangkut pula pengertian pengangkatan sebagian manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syari’at-syari’at-Nya. Pengertian khalifah ini juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri mempunyai kemampuan berfikir yang luar biasa, sekalipun manusia tidak mengerti secara pasti rahasia khalifah jenis terakhir ini, termasuk tidak mengetahui bagaimana prosesnya. (M : 134)
Ringkasnya, manusia dengan kekuasaan akal, ilmu pengetahuan dan daya tangkap mereka belum bisa diketahui secara jelas sampai sejauh mana kemampuan yang sesungguhnya. Dengan kemampuan akal, manusia bisa berbuat mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Manusia dapat berekspresi, mengolah pertambangan dan tumbuh-tumbuhan, dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah wajah bumi, yang tandus bisa dirubah menjadi subur dan bukit-bukit terjal bisa menjadi daratan atau lembah yang sangat subur. Dengan kemampuan akalnya, manusia dapat pula merubah jenis tanaman baru seperti hasil cangkok, sehingga tumbuh pohon yang sebelumnya belum pernah ada. Kemudian, manusia juga dapat pula melakukan penyilangan keturuan terhadap macam-macam hewan sehingga lahir hewan-hewan bastar (rekayasa genetika) yang belum pernah ada. Semuanya ini diciptakan Allah yang Maha Kuasa untuk kepentingan umat manusia. (M : 134)
Kalau begitu, ini adalah kedudukan yang tinggi bagi manusia dalam tatanan alam wujud di atas bumi yang luas ini. Dan, ini adalah kemuliaan yang dikehendaki untuknya oleh Sang Pencipta Yang Maha Mulia. 7
Ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hendaknya hal ini dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi para Malaikat agar mengetahui bahwa segala perbuatan Allah SWT itu pasti mengandung hikmah kesempurnaan yang mutlak, sekalipun bagi para Malaikat masih tampak samar. (M : 135)
Sungguh samar bagi mereka hikmah kehendak yang sangat tinggi di dalam membangun dan memakmurkan bumi ini, di dalam mengemban kehidupan dan memvariasikannya, dan di dalam merealisasikan kehendak Sang Maha Pencipta dan undang-undang alam di dalam perkembangan, peningkatan, dan penegakannya di tangan khalifah-Nya di muka bumi. Makhluk (manusia) ini kadang-kadang membuat kerusakan dan adakalanya menumpahkan darah, agar di balik keburukan parsial ini terwujud kebaikan yang lebih besar dan lebih luas, kebaikan pertumbuhan yang abadi, kebaikan perkembangan yang konstan, kebaikan gerakan perusakan dan pembangunan, kebaikan usaha-usaha dan penelitian yang tak pernah berhenti, dan perubahan serta perkembangan di dalam kerjaan besar (alam semesta) ini.8
Pada saat itu, datanglah ketetapan dari Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Yang Maha Mengetahui tempat kembalinya semua urusan.9
Ayat ini merupakan dalil tentang wajibnya kaum muslimin memilih dan mengangkat seorang pemimpin tertinggi sebagai tokoh pemersatu antara seluruh kaum muslimin yang dapat memimpin umat untuk melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi ini. (D : 88)
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh tokoh pimpinan yang dimaksudkan itu, antara lain ialah adil serta berpengetahuan yang memungkinkannya untuk bertindak sebagai hakim dan mujtahid, tidak mempunyai cacat jasmaniah, serta berpengalaman cukup, dan tidak pilih kasih dalam menjalankan hukum-hukum Allah SWT. (D : 88)
TAFSIR AYAT 31
“Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu benar!’”
Dalam kisah Adam nampak terjadi dialog antara Tuhan dan makhluknya. Dialog merupakan jenis tamtsil (perumpamaan) dengan maksud mengungkapkan pengertian dengan makna yang bisa dicerna oleh akal, yakni mempergakannya dalam bentuk dialog agar mudah dipahami. (M : 132)
Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. (Q : 140) Juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. (M : 132)
Allah mengajar Adam nama-nama benda seluruhnya, yakni memberinya potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan menujuk benda-benda, atau mengajarkannya mengenal fungsi benda-benda. (Q : 140)
Adam, yang diberi kemampuan efektif dari karunia Illahi, memiliki potensi reseptif yang sangat luar biasa atas fakta-fakta dunia makhluk, dan ini seperti dinyatakan al-Qur’an, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama .....”. 10
Sudah barang tentu, pengetahuan tentang sifat-sifat alami dan fakta-fakta dunia makhluk dan rahasia dunia makhluk dengan berbagai sifat yang ada pada tiap-tiap makhluk ini merupakan kemuliaan bagi Adam.11
Allah memberinya ilham untuk mengetahui eksistensi nama-nama tersebut. Juga keistimewaan-keistimewaan, ciri-ciri khas dan istilah-istilah yang dipakai. Di dalam memberikan ilmu ini, ada bedanya antara diberikan sekaligus dengan diberikan secara bertahap. (M : 139) Hal ini karena Allah Maha Kuasa untuk berbuat segalanya. Sekalipun istilah yang digunakan dalam al-Qur’an adalah ‘allama (pengertiannya adalah memberikan ilmu secara bertahap), seperti firman Allah:
“Dan telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.
[An-Nisa, 4: 113]
Dan firman Allah yang artinya:
“Dan Allah akan mengajarkannya kepadanya Al-Manusiab, Hikmah, Taurat dan Injil”. [Ali Imran, 3: 48] (M : 140)
Dia (Tuhan) juga mengajarkannya kemampuan mempelajari bahasa dan keahlian menulis dengan penerapannya yang benar agar dapat menamai objek-objek dan setiap kali memerlukannya, ia tinggal menyebutkannya, tanpa perlu menunjukkannya. Inilah karunia Allah yang dicurahkan kepada manusia. Manusia dapat memahami pentingnya persoalan ii kala manusia menyadari bahwa apa-apa yang ilmu pengetanuan modern dan umat manusia miliki tiada lain berkat adanya bahasa dan tulisan. Semua ilmu pengetahuan dan budaya, catatan sejarah kuno dapat dipelihara dan dijaga sebagai harga benda yang diturunkan dengan sarana tulis menulis dari generasi ke generasi. Apabila dia tidak bisa menggunakan bahasa dan pena, maka ia tidak akan dapat menyampaikan pengetahuan dan data eksperimen dari generasi tua ke bangsa-bangsa yang ada saat ini dan bangsa-bangsa yang akan datang.12
“Jika kalian memang orang-orang yang benar”. [Al-Baqarah, 2: 31]
Disebutkan bahwa sesungguhnya Aku tidak sekali-kali menciptakan makhluk melainkan kalian (para Malaikat) lebih mengetahui daripada dia (Adam), maka sebutkanlah kepada-Ku nama-nama semuanya jika memang kalian orang-orang yang benar. (I : 365)
Makna hal tersebut ialah bahwa Allah SWT berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda yang telah Kukemukakan kepada kalian, hai Malaikat yang mengatakan, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Apakah dari kalangan selain kami atau dari kalangan kami? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau’, jika kalian memang orang-orang yang benar dalam pengakuannya. Jika Aku menjadikan khalifah-Ku di muka bumi dari kalangan selain kalian, lalu mereka membuat kerusakan dan mengalirkan darah. Tetapi jika Aku menjadikan khalifah di muka bumi dari kalangan kalian, niscaya kalian taat kepada-Ku dan mengikuti semua perintah-Ku dengan mengagungkan dan menyucikan-Ku. Apabila kalian tidak mengetahui nama-nama mereka yang Kuketengahkan kepada kalian dan kalian saksikan sendiri, berarti terhadap semua hal yang belum ada dari hal-hal yang akan ada – hanya belum diwujudkan – kalian lebih tidak mengetahui lagi”. (I : 366)
Kemudian Adam mengajarkan kepada para Malaikat beberapa nama tersebut secara ijmal dengan penyampaian berdasarkan ilham atau yang sesuai, menurut kondisi Malaikat. Atau adam menampakkan nama-nama tersebut kepada mereka dengan menyebut contoh-contohnya saja. Dengan mengetahui contoh-contoh tersebut, dapat diketahui perincian tiap-tiap nama, baik yang berhubungan dengan ciri-ciri khasnya atau wataknya. (M : 142)
Di dalam pengajaran dan penuturan Adam kepada para Malaikat terkandung tujuan memuliakan kedudukan adam dan terpilihnya adam sebagai khalifah. Dengan demikian, para Malaikat tidak lagi merasa tinggi diri. Sekaligus merupakan penunjukan ilmu Allah yang hanya dianugerahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. (M : 142)
Para Malaikat dituntut menyebutkan nama-nama tersebut, tetapi mereka tidak akan mungkin mampu mengatakannya. Hal ini karena mereka sama sekali belum pernah mengetahuinya. Dalam ayat ini terkandung isyarat bahwa memegang tampuk khalifah, mengatur kehidupannya, menata peraturan-peraturannya dan menegakkan keadilan selama di dunia ini diperlukan pengetahuan khusus yang membidangi masalah kekhalifahan, disamping adanya bakat untuk terjun di bidang ini. (M : 145)
Firman Allah yang artinya, apabila ada sesuatu hal yang membuat kalian heran mengenai khalifah yang diserahkan kepada manusia, dan kalian pun mempunyai dugaan kuat yang disertai dengan bukti, maka silahkan kalian menyebut nama-nama yang Aku sebutkan di hadapan kalian. (M : 145)
Berdasarkan ayat di atas, diperoleh suatu pelajaran bahwa seseorang yang menuduh kepada orang lain dituntut menunjukkan bukti sebagai hujjah atas tuduhannya. Disini para Malaikat bermaksud mengungkapkan rahasia-rahasia gaib, tetapi ternyata dugaan mereka itu tidak meleset. (M : 145)
Jadi, pengertian ayat tersebut seoalah-olah mengatakan kepada para Malaikat, “Kalian tidak mengetahui rahasia-rahasia apa yang kalian maksudkan. Jadi, bagaimana kalian berani mengatakan sesuatu yang belum kalian ketahui?”. (M : 145)
Kata Ha ulai terkandung suatu makna bahwa ketika Nabi Adam menyebut nama-nama tersebut, adalah menyebut nama-nama benda yang dapat dijangkau alat indera, seperti burung-burung, margasatwa, dan jenis-jenis hewan yang ada dihadapannya. (M : 145)
Hal ini untuk memperlihatkan keterbatasan ilmu pengetahuan para Malaikat itu, dan agar mereka mengetahui keunggulan Adam as terhadap mereka. Dan agar dapat pula mereka mengetahui ketinggian hikmah-Nya dalam memilih Adam as sebagai khalifah. Dia juga menunjukkan bahwa jabatan sebagai khalifah, yaitu untuk mengatur segala sesuatu dan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di bumi ini memerlukan ilmu pengetahuan yang banyak serta kemampuan dan daya fikir yang kuat. (D : 88)
Melalui kisah tersebut, manusia bisa mengetahui keistimewaan jenis makhluk manusia dibanding jenis makhluk Allah yang lain. Disamping itu, pada diri manusia telah disediakan alat untuk bisa meraih kematangan secara sempurna di bidang ilmu pengetahuan, lebih jauh jangkauannya dibanding Malaikat. Berdasarkan inilah maka manusia itu lebih diutamakan menjadi khalifah Allah dibanding Malaikat. (M : 146)
Nah, disini manusia – dengan mata hati manusia di dalam cahaya kemuliaan – melihat apa yang dilihat para Malaikat di kalangan makhluk yang tinggi. Manusia menyaksikan sejemput kecil dari rahasia Ilahi yang besar yang dititipkan-Nya pada makhluk yang bernama manusia ini, ketika Dia menyerahkan kepadanya kunci-kunci kekhalifahan. Rahasia kekuasaan itu diisyaratkan pada nama benda-benda, serta pada penamaan orang-orang dan benda-benda – yang berupa lafal-lafal yang terucapkan – hingga menjadikannya isyarat-isyarat bagi orang-orang dan benda-benda yang dapat diindera. Kekuasaan yang memiliki nilai yang tertinggi dalam kehidupan manusia di muka bumi. 13
Manusia mengetahui nilainya ketika manusia menggambarkan kesulitan yang sangat besar, yang tidak dapat manusia mengerti seandainya manusia tidak diberi kekuasaan (kemampuan) terhadap isyarat nama-nama benda-benda itu. Dan, manusia juga akan kesulitan di dalam memahami dan mempergaulinya ketika masing-masing orang memberikan pemahaman tentang sesuatu yang lain membutuhkan kehadiran sesuatu ini dihadapannya untuk memahami keadaannya.14
Dari penjelasan ke dua ayat tersebut dapat diketahui bahwa
1. Allah menciptakan Adam dan menjadikan khalifah di muka bumi
2. Malaikat tidak menyetujuinya karena manusia hanya akan berbuat kerusakan, malaikat melakukan semua perintah Allah
3. Allah lebih tahu dan Allah menyuruh Adam menyebutkan nama-nama beberapa benda tapi malaikat tidak bisa.
Tafsir ayat 31
1. Allah mengajarkan Adam nama-nama dan menyebutkannya di hadapan malaikat.
2. Adam mengajarkan nama-nama benda itu pada para malaikat
3. Allah memberi tahu ilmu pada manusia untuk dapat mengolah bumi dengan baik.
Dalam ayat 32 Allah berfirman, artinya
Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( Al Baqarah: 32)
Tafsir
Ayat ini menerangkan tentang sanjungan para malaikat kepada Allah dengan mensucikan dan membersihkan-Nya dari semua pengetahuan yang dikuasai seseorang Dari ilmuNya, bahwa hal itu tidak ada kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Dengan kata lain, tidaklah mereka mengetahui sesuatu apapun kecuali apa yang diajarkan oleh Allah SWT kepada mereka. Karena itulah para malaikat berkata dalam jawabanya:
“Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Yakni yang Maha Mengetahui segala sesuatu, yang Maha Bijaksana dalam ciptaan dan urusanMu serta dalam dalam mengajarkan segala sesuatu yang Engkau kehendaki serta mencegah segala sesuatu yang Engkau kehendaki, hanya Engkaulah yang memiliki kebijaksanan dan keadilan yang sempurna dalam hal ini. (I.Hal 387)
Kalimat ini juga mengandung makna kebersihan diri mereka dari pengetahuan mengenai hal yang gaib, tiada yang kami ketahui melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami seperti apa yang telah Engkau ajarkan kepada Adam. (I.Hal 398)
Makna mensucikan Allah, bahwa tiada seorang pun yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Dia semata. Dalam kalimat selanjutnya para malaikat mengatakan, “ Kami bertobat kepadaMu”. (I.Hal 397)
Qooluusubhaanaka, artinya kami semua mensucikan Engkau dari sifat-sifat yang tidak pantas yakni sifat keterbatasan pengetahuan yang mengakibatkan Engkau mengenai berbagai permasalahn yang ingin kami ketahui, Engkau Maha Mengetahui, karena keterbatasan pengetahuan kami, kami tak mampu menyebutkan nama-nama tersebut. (M.141)
Kata subhaanaka adalah ungkapan pengantar yang menunjukkan penegertian taubat sebagaimana yang dikatakan Nabi Musa as, “…Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau”. (Al-A`Raj,7:143).
Juga pernyataan Nabi Yunus “…Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. “ (Al-Anbiya`, 21: 87).
Maksud pengetahuan disini ialah bersifat terbatas, tidak mencakup semua nama. Ayat ini juga merupakan pengakuan para malaikat atas ketidakmampuan mendatangkan apa yang dibebankan kepada mereka. Sekaligus ayat ini merupakan penjelasan bahwa pertanyaan mereka itu meminta jawaban. Jadi, bukan pertanyaan yang bersifat sanggahan. Ayat ini juga merupakan tujuan terhadapAllah atas apa yang di anugerahkan pada mereka berupa ilmu. Ungkapan para malaikat tersebut di barengi dengan sikap rendah diri dan sopan santun yang tinggi. Jadi, seakan-akan para malaikat itu mengatakan, “ Kami tidak mempunyai ilmu apapun kecuali yang telah Engkau berikan kepada Kami, sesuai dengan bakat kami. Jika kami mempunyai bakat menerima ilmu yang lebih banyak, tentu Engkau sudah memberikan kepada kami”. (M.Hal 142).
Kemudian para malaikat itu memperkuat pernyataan berikut ini: Innaka anntal `aliimulhakiim.
Jawaban mereka ini mengandung pengertian bahwa mereka telah menyadari dan kembali kepada kewajiban yang sebenarnya dan harus dilakukan , yakni menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan dan kekuatan Allah yang Maha Agung. Hal ini mereka lakukan setelah ternyata mereka menyadari dalam keadaan bersalah.
Ayat ini sekaligus merupakan nasihat kepada manusia agar tidak berpura-pura mengetahuijika memang tidak mengetahui, dan hendaknya tidak menyembunyikan sesuatu yang ia ketahui. (M: 143)
Mereka para malaikat yang ditanya itu secara tulus menjawab sambil menyucikan Allah “Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Maksud mereka, apa yang Engkau tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan itu kepada kami bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi karena ada hikmah di balik itu.
Demikian jawaban malaikat yang bukan hanya mengakui tidak mengetahui jawaban pertanyaan, tetapi sekaligus mengakui kelemahan mereka dan kesucian Allah swt. Dari segala macam kekurangan atau ketidakadilan, sebagaimana di pahami dari penutup ayat ini.
Benar, pasti ada hikmah dibalik itu, boleh jadi karena pengetahuan yang menyangkut apa yang diajarkan kepada Adam tidak dibutuhkan oleh para malaikat karena tidak berkaitan dengan fungsi dan tugas mereka. Berbeda dengan manusia, yang dibebani tugas memakmurkan bumi.
Jawaban para malaiat, “Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, “ juga mengandung makna bahwa sumber pengetahuan adalah Allah swt. Dia juga mengetahui segala sesuatu termasuk siapa yang wajar menjadi khalifah, dan Dia MAha Bijaksana dalam segala tindakanNya, termasuk menetapkan makhluk itu sebagai khalifah. Jawaban mereka ini juga menunjukkan kepribadian malaikat dan dapat menjadi bukti bahwa pertanyaan mereka pada ayat 31 di atas bukanlah keberatan sebagaiman diduga sementara orang. (Q: 146)
Ucapan malaikat Maha Suci Engkau yang mereka kemukakan sebelum menyampaikan ketidaktahuan mereka, menunjukkan betapa mereka tidak bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sekaligus sebagai pertanda “penyesalan” mereka atas ucapan atau kesan yang di timbulkan oleh pertanyaan itu.( Q. Hal 147)
Firman-Nya: innaka anta al-`alim al-hakim/ sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana, mengandung dua kata yang menunjik kepada dua mitra bicara yaitu huruf kaaf pada kata innaka dan kata anta. Kata anta oleh banyak ulama banyak dipahami dalam arti penganut sekaligus untuk memberi makana pengkhususan yang tertuju kepada Allah swt. Dalam hal pengetahuan dan hikmah, sehingga penggalan ayat ini menyatakan “ sesungguhnya hanya Engkau” Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( Q.Hal 148).
Kata al-`alim terambil dari akar kata `ilm yang menurut pakar-pakar bahasa berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Bahasa arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf- huruf `ain, laam, miim dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehinga tidak menimbulkan keraguan. Allah swt dinamai aalim atau `alim karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap bagiNya hal- hal yang sekecil- kecilnya apapun. (Q.Hal.148)
Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya: “ Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa- apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” ( QS.Al Baqarah, 2: 255)
Kata al-hakiim dipahami oleh sementara ulama dalam arti yang memiliki hikmah, sedang hikmah antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Seseorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai hakiim. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan atau kendaraan mengarah kearah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah pewujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang seburuk pun, dinamai hikmah dan pelakunya dinamai hakim ( bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya, dan dalam pengaturannya, dialah yang hakiim.( Q. Hal 148)
Pakar tafsir al-Bika`i menggaris bawahi bahwa al-hakiim harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia akan tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira- kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba- coba. Thahir Ibn `Asyur memahami kata al- hakiim dalam arti siapa yang mengetahui seluk beluk sesuatu sehingga mampu memeliharanya dari kerusakan dan kepincangan.( Q. Hal.148)
Para malaikat yang telah menyadari kurangnya ilmu pengetahuan mereka, karena tidak dapat menyebutkan nama makhluk- makhluk yang ada dihadapan mereka, lalu mengakui terus terang kelemahan diri mereka dan berkata kepada Allah swt bahwa Dia Maha Suci dari segala sifat- sifat kekurangan, yang tidak layak bagi-Nya, dan mereka menyatakan taubat kepada-Nya. Mereka pun yakin bahwa segala apa yang dilakukan kepada Allah swt tentula berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya yang Maha Tinggi dan Sempurna, termasuk masalah pengakatan Adam as menjadi khalifah. Mereka mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mereka hanyalah terbatas kepada apa yang diajarkan-Nya kepada mereka. Dengan demikian habislah keragu- raguan mereka tentang hikmah Allah swt dan pengangkatan Adam as menjadi khalifah di bumi.( D. Hal. 89).
Dari pengakuan para malaikat ini, dapatlah dipahami bahwa pertanyaan yang mereka ajukan semula mengapa Allah mengangkat Adam as sebagai khalifah, bukanlah merupakan suatu sanggahan dari mereka terhadap kehendak Allah swt, melainkan hanyalah sekedar pertanyaan meminta penjelasan. Setelah penjelasan itu diberikan dan setelah mereka mengakui kelemahan mereka, maka dengan rendah hatidan penuh ketaatan mereka mematuhi kehendak Allah swt, terutana dalam pengangkatan Adam as menjadi khalifah. Mereka memuji Allah swt karena Dia telah memberikan ilmu pengetahuan kepada mereka sesuai dengan kemampuan yang ada pada mereka. Selanjutnya, mereka mengakui pula dengan penuh keyakinan, dan menyerah kepada ilmu Allah yang Maha Luas dan hikmah-Nya yang Maha Tinggi. Lalu mereka menegaskan bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.( D. Hal. 89)
Hal ini mengundang suatu pelajaran bahwa manusia yang telah dikaruniai ilmu pengetahuan yang lebih banyak dari yang diberikan kepada malaikat dan makhluk- makhluk lainnya, hendaklah selalu mensyukuri nikmat tersebut, serta tidak menjadi sombong dan angkuh karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya, serta kekuatan dan daya fikirannya. Sebab betapapun tingginya ilmu pengetahuan dan tehnologi manusia pada zaman manusia sekarang ini, namun masih banyak rahasia- rahasia alam ciptaan Tuhan yang belum dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan manusia, misalnya ialah hakikat roh yang ada pada diri manusia sendiri. Allah swt telah memperingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikaruniakannya kepada manusia hanyalah sedikit sekali dibandingkan kepada ilmu dan hakikat-Nya.( D. Hal. 90)
Selama manusia tetap menyadari kekurangan ilmu pengetahuannya, tentulah ia tidak akan menjadi sombong dan angkuh dan niscaya ia tidak akan segan mengakui kekurangan pengetahuannya tentang sesuatu apabila ia benar- benar belum mengetahuinya, dan ia tidak akan merasa malu mempelajarinya kepada yang mengetahui. Sebaliknya, apabila ia mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang berfaedah maka ilmunya itu tidak akan disembunyikannya, melainkan diajarkan dan dikembangkannya kepada orang lain, agar mereka pun dapat mengambil manfaatnya.(D. Hal. 90)
Tuhan berfirman, “ Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
“ Dan, Dia mengajarkan kepada Adam nama- nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, “ Sebutkanlah kepada Ku nama benda- benda itu jika kamu memang orang- orang yang benar. “ Mereka menjawab, Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “ Allah berfirman, “ Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama- nama benda ini. “ Maka, setelah diberitahukannya kepada mereka nama- nama benda itu, Allah berfirman, “ Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” ( Al Baqarah: 31- 33)
Nah, disini manusia dengan mata hati manusia didalam cahaya kemuliaan melihat apa yang dilihat para malaikat dikalangan makhluk yang tinggi. Manusia menyaksikan sejemput kecil dari rahasia Ilahi yang besar yang dititipkan-Nya pada makhluk yang bernama manusia ini, ketika Dia menyerahkan kepadanya kunci- kunci kekhalifahan. Rahasia kekuasaan itu diisyaratkan kepada nama benda- benda serta pada kenamaan orang- orang dan benda- benda yang berupa lafal- lafal yang terucapkan menjadikannya isyarat- isyarat bagi orang- orang dan benda- benda yang dapat diindera. Kekuasaan yang memiliki nilai yang tertinggi dalam kehidupan manusia dimuka bumi.
Manusia mengetahui nilainya ketika manusia menggambarkan kesulitan yang sangat besar, yang tidak dapat manusia mengerti seandainya manusia tidak diberi kekuasaan terhadap isyarat nama- nama benda itu. Dan, manusia juga akan kesulitan dalam memahami dan mempergaulinnyaketika masing- masing orang untuk memberikan pemahaman tentang kepada sesuatu yang lain yang membutuhkan kehadiran sesuatu itu dihadapannya untuk memahami keadaannya. Misalnya keadaan kurma, yang tidak da jalan untuk memahami kecuali dengan mendatangkan kurma itu. Ini merupakan kesulitan yang amat besar yang tidak terbayangkan dalam kehidupan. Dan, kehidupan itu tidak akan dapat berjalan dijalannya seandainya Allah tidak memberikan kepada manusia ini kekuasaan terhadap isyarat- isyarat dengan nama benda- benda itu.
Sedangkan malaikat mereka tidak memerlukan keadaan ini karena tidak ada urgensinya dengan tugas- tugas mereka. Oleh karena itu, mereka tidak diberikan yang demikian ini. Maka, ketika Allah mengajarkan rahasia ini kepada Adam dan mengemukakannya kepada para malaikat apa yang telah dikemukakannya kepada Adam, mereka tidak mengetahui nama- nama itu. Mereka tidak mengetahui bagaimana menempatkan rumus- rumus lafal bagi sesuatu dan seseorang. Mereka menyatakan kelemahannya dengan menyucikan Tuhannya, mengakui kelemahannya itu dan mengakui keterbatasan pengetahuannya. Padahal, semua itu sudah diketahui dan dikenal oleh Adam. Kemudian didoronglah mereka untuk mengetahui hikmah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, “ Allah berfirman, “ Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahi apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?.”(1)
Allah mengetahui pengetahuan dari segala hal yang ter15sembunyi dilangit dan dibumi, juga mengetahi apa- apa yang para malaikat sembunyikan dalam imajinasinya yaitu menganggap bahwa diri mereka sendiri lebih layak menjabat kedudukan yang tinggi sebagai khalifah Allah diantara para makhluk-Nya. Keyakinan para malaikat itu mendorong mereka mempertanyakan kehendak Allah menyangkut kekhalifahan yang disematkan kepada Adam.
Akan tetapi, saat Adam as berkata, para malaikat melihat keagungannya maka mereka menghormati Adam mengingat keluasan ilmunya dan pengetahuan tentang informasi- informasi yang amat banyak dan kemuliaan yang memancar darinya. Akhirnya, mereka sadar hanya Adamlah yang pantas menjadi wakil Allah dimuka bumi.(2)16
QUR’AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 33
Allah berfirman, artinya:
“Hai Adam, beritahukanlah kepada manusia nama-nama benda-benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Dia (Allah) berfirman, “Bukanlah sudah Ku katakan kepada kamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang telah kamu sembunyikan?”. [Al-Baqarah: 33]
Tafsir
Ayat ini menerangkan tentang perintah Allah agar Adam menyebutkan nama-nama benda itu juga dihadapkan kepada para Malaikat yang sejak awal sudah menyatakan ketidakmampuan mereka. Oleh karena itu, Allah berfirman, “anbi’hum” – bukannya anbi’ul, ini merupakan isyarat bahwa pengetahuan Adam benar-benar sudah dikuasai sehingga tidak perlu melalui ujian. Hal ini sekaligus merupakan isyarat bahwa Adam sudah patut mengajar orang lain dengan ilmu yang dikuasainya. Ia benar-benar mempunyai bakat menjadi seorang guru yang dapat memberikan ilmu pengetahuan dan patut menduduki jabatan ini. Ayat ini juga merupakan penghargaan terhadap diri Adam dan berkat ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
Ketika Adam menyebut nama-nama bneda kepada Malaikat, Allah berfirman kepada para Malaikat, “Telah Aku katakana sejak semula, sesungguhnya Aku ini Maha Mengetahui hal-hal gaib yang ada di langit ataupun di bumi. (M. hal. 143)
Karenanya, Allah tidak menciptakan sesuatu tanpa ada gunanya. Dan Aku (Allah) tidak menciptakan khalifah hanya untuk disia-siakan. Aku mengetahui perkataan kalian yang berbunyi, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan apa yang terpendam di dalam benak kalian, yaitu pengertian yang menyatakan, “Bahwa Allah tidak akan menciptakan makhluk lain yang lebih mulia dibandingkan manusia (Malaikat), yang hanya manusia (Malaikat) yang berhak menjadi khalifah di bumi”. (M. hal. 143-144)
Dalam hal ini, jelas Adam mempunyai keahlian lebih baik dibanding para Malaikat, karena Adam lebih banyak menguasai ilmu dibanding mereka. Dan selamanya, yang lebih utama ialah yang lebih banyak mempunyai ilmu, sebagaimana yang pernah diungkapkan di dalam Al-Qur’an, “…..Katakanlah, adalah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” [Az-Zumar, 39: 9]
Maksud pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi terkandung makna luhur, yakni hikmah lahiriyah yang samara bagi para Malaikat. Sebab, jika para Malaikat itu diberi wewenang sebagai khalifah di bumi, jelas mereka tidak akan mampu mengetahui rahasia-rahasia alam dan ciri-ciri khasnya. (M. hal. 144)
Untuk membuktikan kemampuan khalifah itu kepada Malaikat, Dia yakni Allah SWT, memerintahkan dengan berfirman: Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda-benda itu”, maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Dia (Allah) berfirman, “Bukankah sudah Ku katakana kepada kamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lakukan dan apa yang telah kamu sembunyikan?”. Adam diperintahkan untuk “memberitahukan”, yakni menyampaikan kepada Malaikat, bukan “mengajar” mereka. Pengajaran mengharuskan adanya upaya dari yang mengajar agar bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajarnya, sehingga kalau perlu pengajar mengulang-ulangi pengajaran hingga benar-benar dimengerti. Ini berbeda dengan penyampaikan pelajaran atau berita. Penyampaian berita tidak mengharuskan pengulangan, tidak juga yang diberikan harus mengerti.
Walaupun Malaikat merupakan makhluk-makhuk suci yang tidak mengenai dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, karena yang bertugas menyangkut sesuatu haruslah yang memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang akan bertugas di bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi, paling sedikit nama-namanya atau ybahkan potensi yang dimilikinya. Ini tidak diketahui oleh Malaikat, tetapi Adam as mengetahuinya. Karena itu dengan jawaban para Malaikat sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia.
Maka setelah kemampuan Adam as terbukti, diberitahukannya kepada mereka para Malaikat nama-nama benda-benda itu, Allah berfirman kepada Malaikat, “Bukankah sudah Ku katakana kepada kamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sempunyikan.” Manusia tidak tahu apa yan dilahirkan dalam ucapan dan tingkah laku Malaikat, apakah pertanyaan yang mereka ajukan itu atau lainnya. Demikian juga manusia tidak tahu apa yang disembunyikannya; yang pasti adalah apapun yang lahir maupun yang tersembunyi, keduanya diketahui Allah dalam tingkat pengetahuan yang sama. (Q. hal. 149)
Pemanggilan khalifah itu dengan namanya, yakni “Hai Adam” mengandung penghormatan kepadanya serta mengisyaratkan kedekatan yang memanggil terhadap yang dipanggil. Demikian kesan yang diperoleh sementara ulama. (Q. hal. 150)
Ayat ini menunjukkan ketidakmampuan Malaikat menjawab apa yang ditayangkan kepadanya, dan kemampuan Adam as, tetapi sama sekali tidak dapat dijadikan bukti bahwa jenis manusia lebih muli dari Malaikat. Memang ini dapat menunjukkan adanya keistimewaan Adam as atas sejumlah Malaikat, bukan semua manusia atas semua Malaikat, tetapi keistimewaan ini belum menjadi alasan untuk menetapkan kemuliaan manusia, karena keistimewaan dalam satu hal belum menunjukkan keistimewaan dalam semua hal. (Q. hal. 150)
Kata “anbi’hum”/ beritahukan kepada mereka terambil dari kata “naba” yang berarti berita penting. Ini mengisyaratkan bahwa apa yang diajarkan kepada Adam as dan yang kemudian diperintahkan kepada beliau untuk menyampaikannya kepada Malaikat adalah informasi yang sangat penting. Kepentingannya bukan saja pada nilai informasi itu, atau bahwa ia menjadi bukti kebenaran pilihan Allah SWT dalam menugaskan manusia menjadi khalifah, tetapi karena informasi itu merupakan syarat bagi suksesnya tugas-tugas kekhalifahan yang merupakan salah satu tujuan utama penciptaan manusia. (Q. hal. 150)
Sebelum ini, pada ayat 30 Allah SWT menyampaikan bahwa “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Tetapi disini dinyatkan bahwa, “Bukankah sudah Ku katakana kepada kamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi”. Ini berarti bahwa apa yang disampaikan Allah SWT kepada mereka yang kemudian oleh ayat 33 ini diungkap sebagian dari apa yang disampaikan itu. Ayat 30 belum membuktikan kebenaran informasi Allah. karena itu uraian di sana belum diperinci, sehingga boleh jadi ada keraguan dalam benak pendengarnya, sedangkan ayat 33 ini mengandung bukti kebenaran tersebut. Dari sini wajar ia diperinci untuk lebih membuktikan kebenaran informasi ini.
Firmannya, “wa ma kuntum taktumun”/ apa yang telah kamu sembunyikan. Oleh para ulama dibahas secara panjang lebar khususnya “kuntum” yang secara umum berdasar kaidah kebahasaan menunjukkan telah terjadi satu peristiwa di masa lalu. Ini menimbulkan kesan bahwa sejak dahulu sebelum dialog ini telah ada sesuatu yang tidak diungkap oleh para Malaikat itu, oleh oleh pengarang “Tafsir al-Jalalain” dinyatakan bahwa itu adalah dugaan mereka bahwa Allah tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih mengetahui dari para Malaikat. Kalau pendapat ini diterima, maka itu mereka sembunyikan dalam benak mereka, dalam arti mereka tidak mengungkapkannya karena mengucapkannya dapat mengandung makna keangkuhan, padahal mereka telah terbebaskan dari sifat angkuh atau berbangga diri. (Q. hal. 151)
Melalui informasi ayat ini diketahui bahwa pengetahuan yang dianugerahkan Allah SWT kepada Adam as atau potensi untuk mengetahui segala sesuatu dari benda-benda dan fenomena alam merupakan bukti kewajaran Adam as menjadi khalifah sekaligus ketidakwajaran Malaikat untuk tugas tersebut. (Q. hal. 151)
Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah, yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian, pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu, merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal, walau seandainya dia tekun rukuk, sujud dan beribadah kepada Allah SWT serupa dengan ruku’, sujud dan ketaatan Malaikat. Bukankah Malaikat yang sedemikian taat dinilai tak mampu mengelola bumi ini, bukan karena kurangnya ibadah mereka, tetapi karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang alam dan fenomenanya. Melalui kisah ini, Allah SWT bermaksud menegaskan bahwa bumi tidak dikelola semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi dengan amal ilmiah dan ilmu amaliyah. (Q. hal. 151)
Selain itu, Zaid ibnu Aslam mengatakan, Adam menyebutkan semua nama, antara lain: “Kamu Jibril, kamu Mikail, dan kamu Israfil,” dan nama semua makhluk satu per satu hingga sampai pada nama burung gagak. Mujahid mengatakan, sehubungan dengan firman-Nya:
Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. [Al-Baqarah: 33]
Menurutnya, yang disebut adalah nama burung merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu. Diriwayatkan hal yang semisal dari Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan Qatadah. (I. hal. 388)
Setelah keutamaan Adam as tampak jelas oleh para Malaikat karena dia telah menyebutkan nama-nama segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya, (sedangkan para Malaikat tidak mengetahuinya), maka Allah berfirman kepada para Malaikat:
“Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?” [Al-Baqarah: 33]
Dengan kata lain, Allah bermaksud ‘bukankah Aku sudah menjelaskan kepada kalian bahwa Aku mengetahui yang gaib, yakni yang lahir dan yang tersembunyi’. Makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
“Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. [Thaha: 7]
Sama dengan dengan firman-Nya yang menceritakan perihal burung Hudhud di saat ia berkata kepada Nabi Sulaiman, yaitu:
“Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arasy yang besar.
[An-Naml: 25-26]
Kemudian menurut pendapat lain sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan”. [Al-Baqarah: 33]
Makna ayat ini tidaklah seperti apa yang kami sebutkan di atas. Sehubungan dengan pendapat ini, Ad-Dahlak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya, “Wa a’lamu ma tubduna wama kuntum taktumun”, bahwa makna yang dimaksud ialah ‘Aku mengetahui rahasia sebagaimana Aku mengetahui hal-hal yang lahir’. Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati iblis, yaitu perasaan takabbur dan tinggi diri. (I. hal. 390)
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud serta dri sejumlah sahabat sehubungan dengan ucapan para Malaikat yang disitir oleh firman-Nya:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah”.
[Al-Baqarah: 33]
Hal inilah yang dimaksudkan dengan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan mengenai firman-Nya:
“Dan (Aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan. [Al-Baqarah: 33]
Maksudnya, apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya berupa sifat takabbur. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa’id ibnu Jubair, Mujahid, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan As-Sauri. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abul Aliyah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Haan, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ucapan para Malaikat yang mengatakan, “Tidak sekali-kali Tuhan kami menciptakan suatu makhluk melainkan kami lebih alim dan lebih mulia di sisi-Nya daripada dia”. (I. hal. 391)
Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan”. [Al-Baqarah: 33]
Disebutkan bahwa termasuk diantara apa yang dilahirkan oleh mereka (para Malaikat) ialah ucapan mereka, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yangakan membuat kerusakan padanya dan mengalirkan darah?”. Sedangkan di antara apa yang mereka sembunyikan ialah ucapan mereka di antara sesamanya, yaitu “Tidak sekali-kali Tuhan manusia menciptakan suatu makhluk kecuali lebih alim dan lebih mulia dari padanya”. Tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa Allah mengutamakan Adam di atas diri mereka dalam hal ilmu dan kemuliaan. (I. hal. 391)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam kisah para Malaikat dan Adam, bahwa Allah telah berfirman kepada para Malaikat, “Sebagaimana kalian tidak mengetahui nama-nama benda-benda ini, maka kalian pun tidak mempunyai ilmu. Sesungguhnya aku hanya bermaksud menjadikan mereka agar membuat kerusakan di bumi, dan hal ini sudah Ku ketahui dan telah berada dalam pengetahuan-Ku. Akan tetapi, Aku menyembunyikan dari kalian sesuatu hal, yaitu bahwa Aku hendak menjadikan di bumi itu orang-orang yang durhaka kepada-Ku dan orang-orang yang taat kepada-Ku”. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, telah ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya:
“Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. [As-Sajdah: 13]
Sedangkan para Malaikat belum mengetahui dan belum mengerti hal ini. Ketika mereka melihat apa yang telah dianugerahkan Allah kepada Adam berupa ilmu, akhirnya mereka mengakui kelebihan Adam atas diri mereka. (I. hal. 392)
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa pengertian ini diperbolehkan, mengingat perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang Arab, “Qutilal jaisyu wahuzimu (pasukan itu banyak yang terbunuh dan terpukul mundur).” Padahal sesungguhnya yang terbunuh hanya satu orang atau sebagian dari pasukan, dan yang terpukul mundur (kalah) hanyalah satu orang atau sebagian dari pasukan. Tetapi dalam pembeitaannya disebutkan bahwa yang terbunuh dan terpukul mundur adalah semua pasukan. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kami dari luar kamar(mu)”. [Al-Hujurat: 4]
Sesungguhnya orang melakukan panggilan seperti itu hanyalah seseorang dari kalangan Bani Tamim, bukan semuanya. Menurut Ibnu Jarir, demikian pula pengertian makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
“Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan”. [Al-Baqarah: 33]
Kemudian Allah memerintahkan kepada Adam agar menyebut nama semua benda itu.
“Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian”.
[Al-Baqarah: 33]
Sedangkan selain Aku, tiada yang mengetahuinya.
“Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan”. [Al-Baqarah: 33]
Aku mengetahui semua yang kalian lahirkan dan mengetahui semua yang kalian sembunyikan, Aku mengetahui rahasia seperti Aku mengetahui hal yang terang-terangan. Makna yang dimaksud ialah bawa Allah telah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya, yaitu perasaan takabbur dan tinggi hati. (I. hal. 399)
Maksudnya, Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis dalam hatinya yaitu perasaan tinggi hati (sombong). (I. hal. 404)
Allah menciptakan suatu makhluk (Adam), lalu Dia berfirman, “Sujudlah kalian kepada Adam!”. Tetapi mereka berkata, “Kami tidak mau melakukannya”. Maka Allah mengirimkan api kepada mereka, dan api itu membakar mereka. Kemudian Allah menciptakan makhluk lainnya dan berfirman:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. [Sad: 71]
Lalu Allah berfirman, “Sujudlah kalian kepada Adam!”. Tetapi mereka menolak, maka Allah mengirimkan api kepada mereka, dan api itu membakar mereka. Kemudian Allah menciptakan mereka, lalu berfirman, ‘Sujudlah kalian kepada Adam!”. Mereka menjawab, “Ya”, dan iblis termasuk diantara mereka yang menolak, tidak mau sujud kepada Adam. (I. hal. 405)
Pendapat ini dinilai rajih oleh Ar-Razi.
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”. [Al-Isra’: 78]
Akan tetapi, pengertian kias ini masih perlu dipertimbangkan, dan yang paling kuat adalah pendapat pertama tadi, yaitu yang mengatakan bahwa sujud kepada Adam sebagai penghormatan dan salam serta memuliakannya. Hal ini termasuk taat kepada Allah SWT karena Allah memerintahkannya. (I. hal. 409)
Dalam masalah pengangkatan Adam as sebagai khalifah di bumi ini terkandung suatu makna yang tinggi dari hikmah Ilahi yang tidak diketahui oleh para Malaikat menjadi khalifah dan penghuhi bumi ini, niscaya mereka tidak akan dapat mengetahui rahasia-rahasia ala mini, serta ciri khas yang ada pada masing-masing makhluk, sebab para Malaikat itu sangat berbeda keadaannya dengan manusia. Mereka tidak mempunyai kebutuhan apa-apa, seperti sandang, pangan dan harta benda. Maka seandainya merekalah yang dijadikan penghuni dan penguasa di bumi ini, niscaya tak akan ada sawah dan lading, tak akan ada pabrik dan tambang-tambang, tak akan ada gedung-gedung yang tinggi menjulang, tak akan ada musik dan seni. Dan juga tidak akan lahir bermacam-macam ilmu pengetahuan dan teknoogi yang telah dicapai umat manusia sampai sekarang ini, yang hampir tak terhitung jumlahnya. (D. hal. 91)
Pengangkatan manusia menjadi khalifah, berarti pengangkatan Adam as dan keturunannya menjadi khalifah terhadap makhluk-makhluk lainnya di bumi ini, karena keistimewaan yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk-Nya yang lain, seperti kekuatan akal yang memungkinkan untuk memperkembangkan ilmu pengetahuan guna menyelidiki dan memanfaatkan isi alam bumi ini, seperti kesanggupan mengatur alam menurut ketentuan-ketentuan Allah. (D. hal. 91)
Dengan kekuatan akalnya itu, manusia dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang hampir tak terbatas, serta dapat melakukan hal-hal yang hampir tak terhitung jumlahnya. Dengan kekuatan ini, manusia dapat menemukan hal-hal yang baru yang belum ada sebelumnya. Dia dapat mengolah tanah yang gersang menjadi tanah yang subur. Dan dengan bahan-bahan yang telah tersedia di bumi ini, manusia dapat membuat variasi-variasi baru yang belum pernah ada. Dikawinkannya kuda dengan keledai, maka lahirlah hewan jenis baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu hewan yang disebut “bagal”. Dengan mengawinkan atau menyilangkan tumbuh-tumbuhan yang berbunga putih dengan berbunga merah, maka lahirlah tumbuh-tumbuhan jenis baru, ang berbunga merah putih. Diolahnya logam menjadi barang-barang perhiasan yang beraneka ragam, dan alat-alat keperluan hidupnya sehari-hari. Diolahnya bermacam-macam tumbuhan menjadi bahan pakaian dan makanan mereka. Dan pda zaman sekarang ini dapat disaksikan berjuta-juta macam benda hasil penemuan manusia, baik yang kecil maupun yang besar, sebagai hasil kekuatan akalnya. (D. hal. 91)
Oleh karena itu, apabila mereka yang telah dikaruniakan kekuatan akal serta bakat-bakat dan kemampuan yang demikian diangkat menjadi khalifah Allah di bumi, maka hal ini adalah wajar, dan menunjukkan pula kesempurnaan ilmu dan ketinggian hikmah Allah SWT dalam mengatur makhluk-Nya. (D. hal. 92)
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Imam ash-Shadiq as ditanya mengenai makna ayat ini, beliau menjawab, “Maksud (dari nama-nama) adalah: daratan, gunung gemunung, lembah, palung sungai (dan, secara keseluruhan, segala hal)”. Kemudian imam as melihat tikar yang ada di bawahnya dan berkata, “Tikar ini pun termasuk benda-benda yang Dia ajarkan kepada Adam?”
Oleh karena itu, “mengajarkan nama-nama” tidaklah seperti mengajar kata-kata, namun mengacu kepada filosofi dan rahasia-rahasia kekhususan serta kualitas sesuatu. Dia mengajarkan kepada Adam pengetahuan ini agar dia dapa menggunakan anugerah dan rahmat yang ada di dunia ini sejalan dengan perkembangannya menuju kesempurnaan.
Dia (Tuhan) juga mengajarnya kemampuan mempelajari bahasa dan keahlian menulis dengan penerapannya yang benar agar dapat menamai objek-objek dan setiap kali memerlukannya, ia tinggal menyebutkannya, tanpa perlu menunjukkannya. Inilah karunia Allah yang dicurahkan kepada manusia. Manusia dapat memahami pentingnya persoalan ini kala manusia menyadari bahwa apa-apa yang ilmu pengetahuan modern dan umat manusia miliki tiada lain berkat adanya bahasa dan tulisan. Semua ilmu pengetahuan dan budaya, catatan sejarah kuno dapat dipelihara dan dijaga sebagai harta benda yang diturunkan dengan sarana tulis menulis dari generasi ke generasi. Apabila dia tidak bisa menggunakan bahasa dan pena, maka ia tidak akan dapat menyampaikan pengetahuan dan data eksperimen dari generasi tua ke bangsa-bangsa yang ada saat ini dan bangsa-bangsa yang akan datang.
“….kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, dan berfirman: ‘Katakanlah pada-Ku nama-nama ini apabila kalian benar.’”
Akan tetapi, para Malaikat – yang tidak memiliki pengetahuna seperti itu – gagal dalam sidang tersebut dan tidak lulus dari ujian Allah. Karena itu, mereka menjawab, “Mereka berkata: ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’”.
Mereka berkata, mereka tidak mengetahui apa-apa tentang persoalan ini dan jawaban mereka dikaitkan pda ketidaktahuan mereka saja. Mereka tidak mengetahui kemampuan dan kekuatan Adam as yang luar biasa, karunia pemberian Allah. Inilah keistimewaan besar milik Adam di atas para Malaikat. Mereka mengakui bahwasannya Adam benar-benar layak menjadi khalifah Allah di muka bumi dan di dunia segala makhluk, dimana tanpanya, seluruh makhluk belum lengkap.
Selanjutnya, giliran Adam – dengan perintah Allah dan ditengah-tengah kehadiran para Malaikat – untuk berbicara dan mengandarkan nama-nama dan rahasia-rahasia keberadaan makhluk-makhluk-Nya, termasuk pandangan pengetahuan tentang realitas-realitas atau khasiat-khasiat tersembunyi atau anugerah asli yang tersembunyi yang ada para mereka (realitas-realitas tersebut – penerj.).
“Dia berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka.’ Dan ketika ia telah menyebutkan nama-nama mereka, Dia berfirman: ‘Tidakkan Aku mengatakan bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang kalian lahirkan dan yang kalian sembunyikan?’”.17
Allah, karena mengetahui pengetahuan dari segala hal yang ter1sembunyi di langit dan bumi, juga mengetahui apa-apa yang para Malaikat sembunyikan dalam imajinasinya, yaitu menganggap diri mereka sendiri lebih layak menjabat kedudukan yang tinggi sebagai khalifah (wakil) Allah di antara para makhluk-makhluk-Nya. Keyakinan para Malaikat ini mendorong mereka mempertanyakan kehendak Allah menyangkut kekhalifahan yang disematkan kepada Adam.
Semua ini adalah sebagian pengaruh dari ungkapan kalimat yang luhur dan mulia, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” ketika manusia merenungkannya sekarang dengan perasaan yang sadar, mata hati manusia yang terbuka, dan melihat apa yang terjadi di muka bumi melalui tangan makhluk yang menjadi khalifah dalam kerajaan yang luas ini.
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”
perkataan Malaikat ini memberi kesan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti keadaan, atau berdasarkan pengalaman masa lalunya di bumi, atau dengan ilham pandangan batinnya, yang menyingkap sedikit tentang tabiat makhluk ini atau tentang tuntutan hidupnya di muka bumi, dan yang menjadikan mereka mengetahui atau memprediksi bahwa makhluk (manusia) ini kelak akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Selanjutnya mereka – dengan fitrahnya sebagai Malaikat suci yang tidak tergambar olehnya kecuali kebaikan yang mutlak dan kepatuhan yang menyeluruh – memandang tasbih dengan memuji Allah dan menyucikan-Nya itu sajalah yang menjadi alasan utama penciptaan makhluk. Hal yang demikian ini telah terealisasi dengan keberadaan mereka, yang senantiasa bertasbih dengan memuji Allah dan menyucikan-Nya, serta senantiasa beribadah kepada-Nya dengan tiada merasa letih.
Sungguh samara bagi mereka hikmah kehendak yang sangat tinggi di dalam membangun dan memakmurkan bumi ini, di dalam mengembangkan kehidupan dan memvariasikannya, dan di dalam merealisasikan kehendak Sang Maha Pencipta dan undang-undang alam di dalam perkembangan, peningkatan, dan penegakannya di tangan khalifah-Nya di muka bumi. Makhluk (manusia) ini kadang-kadang membuat kerusakan dan adakalanya menumpahkan darah, agar di balik keburukan parsial ini terwujud kebaikan yang lebih besar dan lebih luas, kebaikan pertumbuhan yang abadi, kebaikan perkembangan yang konstan, kebaikan gerakan perusakan dan pembangunan, kebaikan usaha-usaha dan penelitian yang tak pernah berhenti, dan perubahan serta perkembangan di dalam kerajaan besar (alam semesta) ini.
Pada saat itu datanglah ketetapan dari Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Yang Maha Mengetahui tempat kembalinya semua urusan.
“Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana’. Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini’. Maka, setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kami lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” [Al-Baqarah: 31-33]
Nah, disini manusia – dengan mata hati manusia di dalam cahaya kemudian – melihat apa yang dilihat para Malaikat di kalangan makhluk yang tinggi. Manusia menyaksikan sejemput kecil dari rahasia Ilahi yang besar yang dititipkan-Nya pada makhluk yang bernama manusia ini, ketika Dia menyerahkan kepadanya kunci-kunci kekhalifahan. Rahasia kekuasaan itu diisyaratkan pada nama benda-benda, serta pada penamaan orang-orang dan benda-benda – yang berupa lafal-lafal yang terucapkan – hingga menjadikannya isyarat-isyarat bagi orang-orang dan benda-benda yang dapat diindera. Kekuasaan yang memiliki nilai yang tertinggi dalam kehidupan manusia di muka bumi.18
KESIMPULAN
SURAT AL-BAQARAH AYAT 33
1. Selama manusia tetap kekurangan ilmu pengetahuannya, tentulah ia tidak akan menjadi sombong dan angkuh, dan niscaya ia tidak akan segan mengakui kekurangan pengetahuannya tentang sesuatu apabila ia benar-benar belum mengetahuinya, dan ia tidak akan merasa malu mempelajarinya kepada yang mengetahui. Sebaliknya apabila ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang berfaedah, maka ilmunya itu tidak akan disembunyikan, melainkan diajarkan dan dikembangkannya kepada orang lain, agar mereka pun dapat mengambil manfaatnya.
2. Penyangkalan manusia menjadi khalifah, berarti penyangkalan Adam as dan keturunannya menjadi khalifah terhadap makhluk-makhluk lainnya di bumi ini, karena keistimewaan yang telah dikaruniakan Allah SWT kepada mereka yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk-Nya yang lain.
3. Dengan kekuatan akalnya itu, manusia dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang hampir tidak terbatas, serta dapat melakukan hal-hal yang hampir tak terhitung jumlahnya.
4. Oleh karena, apabila makhluk yang telah dikaruniakan kekuatan akal serta bakat-bakat dan kemampuan yang demikian diangkat menjadi khalifah Allah di bumi, maka hal ini adalah wajar dan menunjukkan pula kesempurnaan ilmu dan ketinggian hikmah Allah SWT dalam mengatur makhluk-Nya.
QS AL Baqarah Ayat 34
Kedudukan Adam sebagai khalifah di bumi terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 34, berikut petikan terjemahannya.
Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur, dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
Setelah Allah memberitahukan kepada Adam tentang kedudukan Adam sebagai khalifah di bumi, Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud menghormati Adam – bukan sujud dalam pengertian menyembah – sebagai tanda penghormatan dan permintaan maaf atas apa yang mereka katakan : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan ……..” (M. Hal 145)
As-Sujud secara bahasa berarti tunduk, patuh atau sujud. Ungkapan paling kongkrit dari sujud ini ialah meletakkan kening di lantai (tanah). Hal seperti ini merupakan kebiasaan pada masa dahulu di dalam menghormati raja. Seperti sujudnya Nabi Ya’qub dan putra-putrinya kepada Nabi Yusuf. Sedangkan sujud kepada Allah ada dua macam:
1. Sujud yang dilakukan mahluk berakal sebagai manifestasi dari ibadah dengan cara yang sudah kita kenal.
2. Sujud yang dilakukan oleh mahluk Allah – selain mahluk berakal, dalam bentuk taat dan tunduk kepada kehendak Tuhan. Hal ini seperti dijelaskan Allah di dalam Firman-Nya, yang artinya : “Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk ke-pada-Nya (Ar – Rahman, 55 : 6) dan (Ar Ra’d, 13 : 15) yang artinya “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang dilangit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa……..” (M. Hal 146)
Alam Para Malaikat
Mahluk yang disebut malaikat ini bertempat di alam gaib yang sedikit pun kita tidak mengetahui hakekat mereka yang sebenarnya. Hanya Kitab Allah-lah yang menunjukkan kepada kita tentang keadaan mereka. Mereka terdiri dari berbagai kelompok, yang setiap kelompok mempunyai bidang kerja sendiri-sendiri. Disebut di dalam syari’at bahwa setiap ilham tentang kebenaran dan kebajikan didatangkan oleh para malaikat sebagaimana dapat dipahami dari cerita pembicaraan malaikat terhadap Maryam. Akan halnya sikap ragu atau godaan, datangnya pasti dari setan. Hal ini juga sudah banyak disebutkan di dalam Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah saw. (M. Hal 146).
Para malaikat dan setan sama-sama mempunyai ruh yang bisa berhubungan dengan ruh manusia, dan kita tidak mengetahui hakekat hubungan ini. Hanya kita percaya terhadap kenyataan tersebut sebagaimana telah disebutkan di dalam nas. Kita pun tidak bisa melebih-lebihkan atau mengurangi.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa apa yang telah disebutkan berkenaandg masalah Malaikat yang telah diberi tugas untuk bidang-bidang pekerjaan tertentu – seperti menumbuhkan tetumbuhan, menghidupkan hewan dan memelihara manusia, mengandung pengertian bahwa pertumbuhan yang terjadi pada tetumbuhan itu hanya merupakan tiupan ruh tertentu yang ditiupkan Allah pada biji-bijian sehingga tercipta suatu kehidupan. Dengan demikian halnya pada hewan dan manusia. (M. Hal 147).
Jadi, segala sesuatu itu tercipta dengan tatanan tertentu berhak hikmah Ilahi dalam penciptaan. Di samping itu, seluruhnya itu pada dasarnya berasal dari ruh Illahi.
Siapa pun yang tidak percaya kepada yang gaib akan mengatakan bahwa hal seperti ini sebagai kekuatan alam atau hukum alam. Bagi siapa yang beriman kepada masalah gaib, ia akan mengatakan, “Saya mengakui adanya kekuatan yang belum saya ketahui hakekatnya”.
Kesimpulannya, pendapat orang-orang tersebut adalah sama, yakni mengakui adanya sesuatu yang tidak mampu diindra dan tidak bisa diketahui keadaannya secara pasti karena akal tidak mampu menjangkau kesana. (M. Hal. 148)
Sedang pada tafsir Ibnu Kasir dijelaskan bahwa pada awalnya iblis itu merupakan suatu golongan dari kalangan para malaikat, mereka dikenal dengan sebutan jin. Iblis diciptakan dari api yang sangat panas, yakni jin yang berada di antara para malaikat, nama aslinya adalah Al-Harist; pada mulanya ia ditugaskan sebagai salah seorang penjaga surga. Tetapi malaikat semuanya diciptakan dari nur yang berada dengan golongan iblis tadi.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa jin yang disebut di dalam Al-Qur’an diciptakan dari nyala api, yakni dari lidah api yang paling ujungnya bisa menyala. Sedangkan manusia diciptakan dari tanah liat. Mahluk yang mula-mula menghuni bumi adalah jin, lalu mereka membuat kerusakan, mengalirkan darah, dan sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Maka Allah mengirimkan kepada mereka iblis bersama sejumlah pasukan dari para malaikat. Mereka yang diutus melakukan tugas ini dari kalangan mahluk yang dikenal dengan nama jin. Iblis bersama para pengikutnya dapat menumpas mahluk jin hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan dan ke puncak-puncak bukit.
Setelah iblis dapat melakukan tugas tersebut, akhirnya dia merasa tinggi diri, dan mengatakan, “Aku telah melakukan sesuatu hal yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun”. Allah mengetahui hal itu yang tersimpan di balik hati iblis, sedangkan para malaikat yang bersamanya tidak mengetahui hal itu. Lalu Allah SWT berfirman kepada para malaikat yang pernah diutus-Nya bersama iblis, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi itu”. Maka para malaikat menjawab-Nya, “Mengapa Engkau hendak mejadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, seperti kerusakan yang pernah dilakukan oleh mahluk jin dan banyaknya darah yang mengalir karena perbuatan mereka ? Padahal sesungguhnya kami diutus untuk menumpas mereka”.
Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui,” yakni aku mengetahui apa yang tersimpan di balik hati iblis hal-hal yang tidak kalian ketahui, yaitu sifat takabur dan tinggi diri.
Lalu Allah mnemerintahkan agardihadapkan kepada-Nya tanah liat untuk menciptakan Adam, kemudian tanah itu dihadapkan kepada-Nya. Maka Allah menciptakan Adam dari tanah liat, yakni tanah liat yang baik, berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk dan berbau tidak enak. Sesungguhnya pada mulanya dari tanah, kemudian menjadi tanah liat yang diberi bentuk, Allah menciptakan Adam dari tanah liat dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri (i Hal.395).
Kita tahu, setan merupakan sebuah kata benda yang mencakup setan pertama dan semua setan lainnya. Akan tetapi, iblis merupakan sebuah nama diri yang ditujukan pada seorang setan yang menggoda Adam as. Menurut ayat-ayat Al-Qur’an, iblis tidak memiliki sifat dasar yang sama dengan para malaikat, tetapi berasal dari genus yang lain, yaitu dari genus jin dilihat dari sifat dasar zatnya, yang telah bergabung bersama para malaikat. Salah satu ayat yang menggambarkan bahwasannya iblis berasal dari Jin adalah sebagai berikut, “Dan tatkala kami katakan pada para malaikat : “Sujudlah kalian kepada Adam” Mereka semua merendahkan diri mereka sendiri kecuali Iblis; dia dari golongan Jin, ……” (QS al-Kahfi [18] : 50).
Motif kedurhakaannya adalah rasa takabur dan kefanatikan khusus yang telah menguasai dirinya. Dia mengkhayalkan, dia lebih unggul dari Adam as dan karena itu, tidaklah layak baginya diperintahkan untuk sujud kepada Adam as. Dia beranggapan, seharusnya Adam yang sujud kepadanya. Uraian mengenai hal ini akan dibahas nanti dalam tafsir-tafsir yang mengacu kepada surat al-A’raf [7] : 102.
Alasan dia membangkang ialah karena, menurutnya, perintah Allah tersebut agak tidaklah tepat. Dia tidak hanya membantah secara praktis tetapi juga memprotes secara teoretis. Sehingga, ketakaburan dan kesombongan dirinya menghapus ibadah seumur hidupnya dan dinilai sisa-sisa. Berhati-hatilah kesombongan menyebabkan banyak akibat sejenis ini !.
Kata “……. karenanya dia termasuk orang-orangyg zalim” menunjukkan bahwa sebelum perintah ini juga telah dia mengubah jalannya dari jalan para malaikat dan ketaatan kepada perintah Allah. Iblis memiliki anggapan yang berasal dari kesombongan yang ada dalam mindanya (pikiran). Mungkin, dia telah membisikkan kepada dirinya sendiri bahwa apabila perintah penghormatan diminta darinya, nicaya dia tak akan pernah mentaatinya. Kata “…….. apa-apa yang kalian sembunyikan”, dalam ayat 33 mungkin mengisyaratkan makna ini. Pendapat ini juga disinggung dalam sebuah hadist dari Imam Hasan al-Askari as, imam kesebelas yang disebutkan dalam tafsir al-Qummi.19
Nah, disini mulai tampak kejahatan yang dipaparkan, yaitu menentang perintah Allah yang maha luhur, sombong untuk mengakui kemuliaan bagi ahlinya, membanggakan dosa-dosa, dan menutup hatinya dari memahami masalah.
Ayat ini juga memberikan isyarat bahwa iblis itu bukan jenis malaikat, melaikan hanya ada bersama mereka pada waktu itu. Seandainya iblis itu termasuk golonganmalaikat, niscaya dia tidak akan melanggar perintah Allah, sebab sifat mereka yang utama adalah.
“Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahriim : 6)
Dan, pengecualian disini tidak menunjukkan bahwa iblis itu termasuk jenis malaikat, dan keberadaannya bersama malaikat itu dapat saja menjadikan dia terkena penegcualian seperti kalau kita menjadikan dia terkena pengecualian seperti kalau kita berkata “Telah datang anak-anak si Fulan kecuali Ahmad”, padahal Ahmad itu bukan anaknya melainkan hanya keluarganya. Dan, iblis ini termasuk golongan jin sebagaimana disebutkan dalam nash Al-Qur’an, sedang Allah menciptakan jin dari nyala api. Hal ini secara pasti menetapkan bahwa iblis bukan golongan malaikat.
Sekarang telah terbuka medan peperangan yang abadi. Peperangan antara tabiat kejahatan pada iblis dan khalifah Allah di muka bumi. Peperangan abadi di dalam hati manusia. Peperangan yang dimenangkan oleh kebaikan apabila manusia itu membentengi dirinya dengan kemau-annya dan menunaikan perjanjiannya dengan Tuhannya, dan dimenangkan oleh kejahatan kalau manusia menyerah kepada syahwat dan kesenangannya serta menjauhkan dari Tuhannya. 20
Sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi, maka Allah SWT secara langsung dan dg menggunakan kata “Kami”, yang menunjukkan keagungan-Nya bukan lagi dalam bentuk personal ketiga sebagaimana dalam ayat 30, Allah secaralangsung memerintahkan : Dan renungkanlah pula ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “sujudlah kepada Adam”.
Apakah semua malaikat diperintah sujud atau sebagian saja ? Ada ulama yang berpendapat bahwa semua malaikat diperintahkan bersujud berdasar firman-Nya : Maka seluruh malaikat itu bersujud semuanya” (QS. Shad [38] : 73). Ada juga yang berpendapat bahwa sebagian, yakni yang ditugaskan mendampingi manusia, atau yang ditugaskan berada di bumi. Persoalan ini akan dibahas Insya Allah ketika menafsirkan surat Shad di atas.
Para malaikat menyadari bahwa perintah ini tidak boleh ditangguhkan karena itu adalah tanda ketaatan dan penyerahan diri kepada-Nya. Maka merekapun segera sujud tanpa menunda atau berfikir, apalagi perintah tersebut langsung dari Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, bukan dari siapa yang bisa jadi keliru, tetapi iblis yang memasukkan dirinya dalam kelompok malaikat sehingga otomatis dicakup pula oleh perintah tersebut, enggan dan menolak sujud bukan karena tidak ingin sujud kepada selain Allah, tetapi karena dia angkuh, yakni mengabaikan hal pihak lain, dalam hal ini Adam as., serta memnadangnya rendah sambil menganggap dirinya lebih tinggi. (Q. hal. 152)
Kembali pada keangkuhan iblis pada tafsir P yang menjelaskan penolakan iblis sujud pada Adam. Iblis menolak sujud bukan dengan alasan bahwa sujud kepada Adamad syirik, seperti dugaan sementara orang yang sangat dangkal pemahamannya. Keengganannya bersumber dari keangkuhan yang menjadikan ia menduga dirinya lebih baik dari Adam. “Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia dariEngkau ciptakan dari tanah”. Demikian jawabannya ketika ditanya mengapa ia tidak sujud. “Apakah wajar saya sujud kepada apa yang Engkau ciptakan dari tanah?” (QS al-Isra’ [17] :61). Demikian dilukiskan jawabannya yang lain. Alhasil, dalam logika iblis, tidak wajar mahluk yang lebih baik unsur kejadiannya bersujud kepada mahluk yang lebih rendah unsur kejadiannya.
Kata istakbara terambil dari kata kabura dengan penambahan dua huruf yaitu sdin dan ta. Kedua huruf ini berfungsi menggambarkan betapa mantap dan kukuh keangkuhan itu. Dengan demikian, kata istakbara menunjukkan keangkuhan yang luar biasa. Bahasa Arak ketika bermaksud menggambarkan keangkuhan, selalu menggunakan penambahan huruf huruf seperti bentuk kata di atas. Kata takabbur, juga mengandung dua huruf tambahan yaitu ta pada awalnya dan ba pada pertengahannya yang kemudian digabungkan dengan huruf ba yang asli padanya sehingga menjadi takabbar atau takabbur. Ini mengisyaratkan bahwa keangkuhan merupakan upaya seseorang untuk melebihkan dirinya dari pihak lain, kelebihan yang dibuat-buat lagi tidak pernah wajar disandangnya. Dari sini “keangkuhan” berbeda dengan “kebanggaan” atau “membanggakan diri”, karena yang membanggakan diri belum tentu mengaggap dirinya lebih dari orang lain, bahkan boleh jadi saat itu dia masih tetap mengakui keunggulan pihal lain atau sama dengannya. Adapun keangkuhan, maka ia adalah membanggakan diri, ditambah dengan merendahkan pihak lain. Keangkuhan tidak terjadi kecuali jika pelakunya melihat dirinya memiliki kelebihan – baik benar-benar ada maupun tidak selanjutnya melihat orang lain tidak memiliki kelebihan, atau memiliki tetapi lebih rendah dari kelebihannya, kemudian melecehkan yang dinilainya lebih rendah itu.(Q. hal 154).
Ayat ini dapat menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berpengetahuan, sebagaimana ayat berikut yang mempersilakan Adam dan pasangannya tinggal di surga menjadi isyarat tentang kewajaran ilmuan dan keluarganya mendapat fasilitas, yang tentu saja antaralain agar ia dapat lebih mampu mengembangkan ilmunya.
Penggunaan kata kana dalam firman-Nya wa kana min al-fafiri dan dia termasuk kelompok yang kafir juga menjadi bahasan cukup panjang di kalangan para ulama. Ada yang memahaminya dalam arti sejak dahulu yakni dalam ilmu Allah SWT., iblis telah kafir. Ada juga yang memahaminya bahwa sejak dahulu sebelum turunnya ayat ini, bukan dalam arti sejak sebelum adanya perintah ini, karena jika demikian, kekufuran telah ada sebelum adanya manusia, padahal ketika itu belum ada yang wajar dinamai kafir. Ada lagi yang memahami kata kana dalam arti menjadi sehingga ayat itu bermakna keengganan iblis sujud menjadikan ia termasuk kelompok orang-orang kafir.
Memasukkan seseorang atau sesuatu ke dalam satu kelompok tertentu menunjukkan keunggulannya dalam bidang tersebut. Jika Anda berkata si A termasuk dalam kelompok cendekiawan, maka ini mengisyaratkan bahwa ia telah mencapai satu tingkat yang demikian tinggi, dan telah lolos seleksi sehingga pada akhirnya ia dimasukkan dalam kelompok tersebut. Iblis telah dimasukkan dalam kelompok orang-orang kafir bahwa ia adalah pemimpin kelompok itu. Mereka yang sesekali berdosa, atau melakukan kekufurannya, belum dapat dinilai masuk dalam kelompok orang-orang kafir.
Setelah menjelaskan kelebihan Adam as., dan kehormatan yang diraihnya, Allah SWT melanjutkan kisahnya yang dijelaskan pada ayat-ayat lain, bahwa Adam as., bersama isterinya tinggal di surga dengan penuh bahagia. Tersedia juga makanan yang banyak dan tempat tinggal yang nyaman. Bebas melakukan apa saja, kecuali mendekati sebuah pohon (Q. hal 155).
Sedangkan pada tim Penafsir Depag Al-Qur’an dan tafsirnya pada halaman 93 menjelaskan mengenai asal usul kejadian Adam, malaikat dan iblis, disebutkan bahwa Adam as diciptakan Allah dari tanah dan malaikat diciptakan dari cahaya (nur) (8) sedang jin, iblis dan setan diciptakan dari api (nas).
Iblis bukanlah termasuk jenis malaikat, melainkan suatu mahluk dari bangsa jin, iblis itu pada mulanya pernah berada dalam kalangan malaikat, bergaul dengan mereka dan mempunyai sifat-sifat seperti mereka pula, walaupun asal kejadiannya berbeda dari asal kejadian malaikat. Buktinya ialah firman Allah Swt pada akhirnya ayat tersebut yang menerangkan bahwa ketika Allah Swt memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud, kecuali iblis. Jadi teranglah bahwa iblis itu bukan dari kalangan malaikat. Sebab malaikat selalu patuh dan taat kepada perintah Allah dan perintah membangkang.(9) (D. hal 93)
Jadi kesimpulannya adalah :
1. Allah SWT telah menetapkan Nabi Adam as menjadi khalifah dibumi. Dan Allah swt telah mengaruniakan kepada manusia (yaitu Adam dan keturunannya) kekuatan akal dan daya fikir yang memungkinkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menyelidiki dan memanfaatkan apa-apa yang telah tersedia di bumi ini.
2. Apabila seseorang belum mempunyai pengetahuan tentang sesuatu masalah, maka ia hendaklah bersedia mempelajarinya kepada yang sudah mengetahuinya. Dan sebaliknya pula, apabila telah mempunyai ilmu, hendaklah mengajarkan kepada orang lain dengan rendah hati, tulus ikhlas dan penuh rasa kasih sayang.
3. Orang-orang yang berilmu pengetahuan patutlah dimuliakan.
4. Para malaikat adalah mahluk yang selalu taat kepada Allah, sedang iblis adalah mahluk yang durhaka dan pembangkang (D. hal 96).
1 Tafsir Nurul Qur’an , sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al Qur’an , Allamah Kamal Faqih Imani (158) Al Huda , September 2003 M / Rajab 1434 H
2 Ibid., hal. 162
3 Ibid.
4 Ibid., hal. 161
5 Ibid., hal. 160
6 Tafsir Nurul Qur’an, sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al Qur’an, Allamah Kamal Faqih Imani (162) Al Huda , September 2003 M / Rajab 1434 H
7 Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dibawah naungan Al Qur’an (Surah Al Faatihah – Al Baqarah Jilid 1) Sayyid Quthb (hal 67), Gema Insani Jakarta 2000
8 Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dibawah naungan Al Qur’an (Surah Al Faatihah – Al Baqarah Jilid 1) Sayyid Quthb (hal 67) , Gema Insani Jakarta 2000
9 Ibid., hal. 68
10 Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an, Allamah Kamal Faqih Imani (156-162), Al-Huda, September 2003M/ Rajab 1434 H.
11 Ibid., hal. 158
12Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an, Allamah Kamal Faqih Imani (156-162), Al-Huda, September 2003M/ Rajab 1434 H.
13 Syayid Quthub Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dibawah naungan Al-Qur’an (surah Al-Faatihah – Al-Baqarah Jilid I), , hal (66-68), Gema Insani Press, Jakarta, 2000
14 Ibid., hal.68
15 Tafsir Nurul Quran, sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al-Qur`an,hal 162- 163, Allamah Kamal Faqih imani, Al-Huda September 2003 M/ Rajab 1424 H.
16 Tafsir Fi Zhilail Qur`an, dibawah Naungan Al-Qur`an, Surah Al- Faatihah – Al- Baqarah Jilid 1, hal 68, Sayyid Quthb, Gema Insani, Jakarta 2000.
17 Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al-Qur’an, hal. 162-163, Allamah Kaunal Faqih Imani, Al-Huda, September 2003M/ Rajab 1424H.
18 Tafsir Fi Zhilail Qur’an, di bawah naungan Al-Qur’an, Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah, Jilid I, hal. 67-68, Sayyid Quthb, Gema Insani Press, Jakarta, 2000
19 Tafsir Nurul Qur’an, sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al-Qur’an, hal 165-166…., Allamah Kamal Faqih Imani, Al-Huda September 2003 M / Rajab 1424 H.
20 Tafsir Fi Zhilail Qur’an, dibawah Naungan Al-Qur’an, surah Al-Faatihah – Al-Baqarah Jilid 1, hal 69., Sayyid Quthb, Gema Insani, Jakarta 2000.
??
Jumat, 12 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar