Sabtu, 20 Desember 2008
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
FASE ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap memahami kepribadian anak dalam berbagai tingkat pendidikan perlu mengetahui dan memahami fase-fase pertumbuhan dan perkembangan individu, begitu juga orang tua sebagai pendidik kodrati bagi anak di rumah. Pengetahuan orang tua terhadap fase-fase, pertumbuhan dan perkembangan anak sangat menentukan terjadinya komunikasi dan interaksi yang baik antar anak dan orang tua, sehingga dengan demikian apa yang diinginkan orang tua dalam pembentukan kepribadian anak menuju kepribadian yang mandiri dapat tercapai.
Sepanjang sejarah manusia tidak ada orang tua yang secara sengaja dan sadar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anaknya supaya anaknya tersebut mengalami kegagalan dalam hidupnya. Bahkan pada prinsipnya orang tua bercita-cita dan berusaha agar anaknya selalu sukses dalam kehidupannya kelak, tetapi namun demikian tidak jarang orang tua (mungkin karena tingkat pendidikan atau kurangnya kesadaran penuh dalam mendidik) mengalami kegagalan dalam rangka pembentukan kepribadian anak.
Membentuk kepribadian anak dengan baik di jaman kesejagatan dan modern ini tidaklah mudah. Di satu sisi jaman ini memberikan berbagai banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak-anak kita memperoleh fasilitas yang serba “canggih” dan “wah”. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, camera, dan berbagai peralatan yang amat jauh dengan jaman “ aku si anak singkong”. Kemajuan yang demikian cepat juga ditengarai membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif melalui media masa dengan teknologi yang sulit untuk dihindari. Misalnya: porno, kekerasan, konsumerisme, takhayul, klenik dan kemusyrikan melalui berbagai media informasi seperti internet, handphone, majalah, televisi dan juga vcd.
Berbagai kenyataan modernitas dan ketersediaan tersebut faktanya tidak sulit bahkan setiap hari disediakan baik oleh keluarga, masyarakat dan juga dunia informasi. Maraknya dunia periklanan memaksa informasi beredar lebih mudah, lebih seronok dan juga lebih merangsang rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba sebagai akibat “rayuan maut” publikasi yang memang dirancang secara apik oleh para ahli komunikasi dengan biaya yang mahal dan dengan dampak meluas dan mendalam. Dapat dikatakan informasi-informasi tersebut dapat lebih cepat hadir daripada sarapan pagi kita, atau lebih cepat disantap daripada nasehat orang tua. Informasi tersebut masuk melalui jendela-jendela ICT (information communication technology).
BAB II
PEMBAHASAN
Pembentukan kepribadian anak dalam artian proses pencapaian kedewasaaan baik jasmani maupun rohani, sebaiknya di usahakan sejak dini secara konsisten dan berkesinambungan. Hal itu di lakukan agar orang tua dapat mewarnai kepribadian anak menjadi pribadi yang baik dan mandiri setelah dia menjadi dewasa.
Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan bahwa: Menurut aliran emprisme yang dipelopori oleh Jhon Locke (1632-1704) mengatakan bahwa: “Manusia itu sewaktu lahirnya adalah putih bersih, bagaikan tabularasa, menjadi apakah anak itu kelak sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman yang akan mengisi tabularasa tersebut”.
Kemudian aliran ini juga diikuti oleh Watson sebagai pelopornya mengatakan karena jiwa manusia itu sewaktu lahirnya adalah bersih, maka yang akan memberikan pengaruh terhadap pendidikan aank adalah lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang di laluinya. Oleh karena itu peran orang tua adalah menyesuaikan diri anak dengan lingkungan dan pengalaman yang dikehendakinya.
Dalam hal ini menurut penulis, kedua pendapat para pakar di atas masing-masing ada benarnya, hal ini membuktikan bahwa faktor bakat tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena lingkungan juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Hanya saja yang kurang dapat diterima adalah pendapat bahwa faktor pembawaan dan lingkungan mutlak mempengaruhi perkembangan hidup seseorang. Alasannya adalah karena masih banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan hidup seseorang seperti faktor ekonomi, pendidikan, psikologis dan pengalaman hidupnya. Dengan demikian yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang terdiri dari multi aspek.
Jika ditinjau lebih jauh setiap manusia yang dilahirkan selalu membawa potensi, apabila potensi itu tidak dibina dan dikembangankan dengan baik maka manusia tersebut dapat menyimpang dari fitrahnya. Pembinan fitrah harus disesuaikan dengan situasi rumah tangga dan keadaan lingkungan yang baik. Keluarga sebagai pendidik utama di rumah mesti memahami cara-cara mengembangkan setiap potensi yang dimiliki oleh anak. Potensi yang dimiliki oleh setiap pribadi memang sangat variatif, pariasi inilah yang menunjukkan kemampuan dasar anak pada bidang-bidang tertentu.
Pola pendidikan yang demokratis yang menitik beratkan pada kebebasan untuk berbuat menurut kemampuan, akan mempermudah anak mengenali kemampuan dirinya sendiri serta mempermudah mengekspresikan potensi yang dimilikinya. Memberikan kebebasan kepada anak dengan memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya membuat dia mengenal dengan lingkungannya. Dengan demikian melalui lingkungan dia dapat banyak belajar dan memperoleh banyak pengetahuan. Begitu juga sebaliknya pola pendidikan yang bersifat otoritarian akan mengaburkan atau bahkan menghilangkan potensi yang dimiliki anak.
Namun demikian pengawasan orang tua dalam makna pemberian kebebasan kepada anak untuk memilih dan berinteraksi dengan lingkungan, tidaklah dibiarkan begitu saja. Agar anak dapat berinteraksi lebih luas (dalam batas-batas yang bernilai positif) dan memiliki pengetahuan tentang norma-norma yang terdapat dalam agama maupun norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat, di sekolah, dan di mana saja anak itu berada orang tua mesti harus memperhatikan dan memberikan pengawasan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Begitu besarnya peranan orang tua dalam mengembangkan potensi yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap anaknya, agar anak tersebut tetap pada firah yang suci, sampai-sampai Nabi Muhammad mengatakan dalam hadits:
Artinya: “Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi Muhammad SAW berkata tidak seorangpun yang di lahirkan, melainkan ia di lahirkan dalam keadaan fitrah maka ibu bapaknyalah yang menjadikan yahudi atau Nasrani atau Majusi (H.R Bukhari dan Muslim)
Menurut hadits di atas dapat dipahami bahwa dalam pengembangan fitrah setiap manusia yang dilahirkan tidak terlepas dari peran orang tua. Fitrah itu sendiri menurut Bastaman adalah “suci dan beriman”. Diibaratkan pada hadits tersebut bahwa jika anak menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi (sebagai sebuah kondisi penyimpangan fitrah dari fitrah Islami) adalah karena kesalahan orang tua dalam mendidik. Atau mungkin sekali orang tua ikut andil dalam memberikan sifat-sifat Keyahudian Kenasranian atau Kemajusian dalam diri anak atau mungkin juga orang tua itu tidak memahaminya atau memang dilakukan didasarkan atas sifat dan cara-cara orang tua yang ditiru oleh anak.
Untuk lebih jelas dan terarahnya potensi dasar yang dimiliki oleh manusia tersebut sesuai dengan konsep Islam, Allah menjelaskan dalam surat Ar-Rum: 30
Artinya: “Maka hadapkanlah mukamu kearah agama, serta condong kepada-Nya, itulah agama Allah yang dijadikan-Nya manusia sesuai dengan Dia, tidaklah bertukar perbuatan Allah, itulah agama yang lurus, tetapi manusia banyak yang tidak mengetahuinya.
Pada ayat di atas ditegaskan bahwa dalam hal mengembangkan kepribadian menuju kepribadian yang Islami maka potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia senantiasa harus diarahkan atau dicondongkan pada hal-hal yang baik menurut pandangan agama. Sehingga dengan demikian kepribadiannya sebagai seorang muslim menjadi sangat jelas. Sardjonoprijo mengatakan bahwa fungsi kepribadian tersebut dalam diri seseorang adalah untuk “memberikan penjelasan tentang adanya perbedaan psikologis yang ada diantara manusia.
Dalam hal mengarahkan kepribadian anak sesuai dengan konsep-konsep agama Islam, serta menyadarkan anak bahwa dirinya sebagai makhluk tuhan mesti mempunyai fitrah sesuai dengan ajaran agama maka peranan pendidikan sangat penting dalam pembinaan kepribadian tersebut. Dalam hal inilah setiap unsur pendidik baik guru maupun orang tua harus sadar tentang tugas masing-masing.
Berbicara mengenai cara orang tua dalam mendidik anak, tentu saja tidak dapat terlepas dari pemahaman dan pandangan orang tua dalam mendidik. Cara-cara mereka dalam mendidik sangat menentukan corak kepribadian anak mereka. Secara umum Malcon Hardy dan Steve Hayes berpendapat, bahwa cara para orang tua memperlakukan anak-anak mereka bervariasi, sebagaimana tersebut di bawah ini yakni: “(1) Cara mereka memperlihatkan cinta dan perhatian, (2) Tipe dan konsistensi terhadap penghargaan dan hukuman yang mereka berikan, (3) Sikap membolehkan penekanan mereka terhadap agresi anak serta yang teakhir penekanan mereka terhadap kesesuaian prilaku berdasarkan peran kelamin”.
Selain itu siaf-sifat orang tua mendidik anak dapat dibagai menjadi tiga macam:
1. Orang tua otoriter atau autokratis, dimana orang tualah yang membuat semua keputusan
2. Demokratis, dimana orang tua mendorong anak untuk membenarkan apa yang diinginkannya
3. Laissez-faire, dimana orang tua membiarkan anak mencari jalannya sendiri.
Ketiga sifat-sifat orang tua di atas adalah refresentasi dari seluruh cara-cara yang dilakukan oleh orang tua dalam melakukan proses pendidikan dilingkungan masyarakat. Terlepas dari cara-cara dan sifat orang tua dalam mendidik anak di atas, sebaiknya perlu untuk di sadari bahwa dalam mendidik anak orang tua dituntut agar lebih sabar dan bijaksana dan diikuti dengan penuh kesadaran bahwa anak-anak itu adalah amanat yang dititipkan untuk dijaga dan dipelihara. Maka itulah anak merupakan harta yang paling berharga dalam sebuah perkawinan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi: 46 :
Artinya: “Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia dan amal-amal yang kekal lagi baik, lebih baik pahalanya disisi tuhannya, dan lebih baik di cita-citanya”.
Berdasarkan pada ayat di atas, jelaslah anak itu merupakan titipan Allah yang diberikan kepada manusia selaku orang tua, sebagai sebuah perhiasan maka kewajiban orang tua untuk menjaga anaknya hingga dia menjadi dewasa.
Anak sebagai amanah dari Tuhan, memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi pribadi yang mandiri serta bisa menjadi generasi muda yang berprestasi maka anak harus mendapat pendidikan yang baik. Dalam pendidikan itu pemenuhan terhadap hak-hak anak harus diberikan baik berupa bimbingan maupun perlindungan.
Akan tetapi di dalam kehidupan sehari-hari masih banyak dijumpai berbagai pelanggaran hak anak dan dalam berbagai bentuknya. Salah satu di anataranya adalah dalam bentuk tindak kekerasan, baik itu dilakukan olerh orang tua di rumah maupun guru di sekolah. Banyak alasan yang diberikan dalam melakukan berbagai kekerasan terhadap anak misalnya penegakan disiplin, untuk masa depan anak atau peraturan pendidikan.
Pandangan masyarakat yang masih keliru tentang cara mendidik anak. Banyak para orang tua yang beranggapan bahwa anak adalah sub ordinat dari orang tua. Anak mesti mematuhi segala sesuatu yang diinginkan dan ditetapkan oleh orang tua. Jadi pendidikan yang diberikan kepada aak ibaratnya seperti pendidikan disiplin militer. Karena pandangan yang keliru itu jugalah banyak orang tua yang sering memberikan hukuman fisik atau psikologis kepada anak karena anak melanggar disiplin yang dibuat orang tua, tanpa memberi nasehat dan pembinan terlebih dahulu.
Menanggapi perilaku ini Abdullah Nashih Ulwan berkomentar: “Seperti yang telah kita ketahui bahwa hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan dalam Islam, dan ini dilakukan pada tahap akhir setelah nasehat dan meninggalkannya”. Kemudian lebih lanjut dijelaskan oleh Syekh Adil Rasyid Ghamim:
“Wasiat Luqman terhadap putranya tentang pendidikan, yang diteruskan dengan perintah untuk menegakkan shalat. Dan Rasulullah pun telah menasehati kita tentang perintah shalat ini sebagaimana dikatakannya “perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk melakukan shalat pada umur 7 tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat pada umur sepuluh tahun) dan sebenarnya Rasulullah tidak membolehkan memukul anak kita pada umur 3 tahun hanya karena mereka tidak mau mengerjakan shalat sebab memukul anak pada usia itu justru akan menimbulkan pobia terhadap anak”.
Pendapat di atas dapat dipahami bahwa memukul anak dalam Islam dibolehkan jika telah dilakukan berbagai proses perbaikan namun anak tetap saja tidak mau melaksanakan perintah Allah. Bolehnya orang tua memukul anak, jika anak melanggar perintah Allah dan dilakukan dengan cara yang tidak membahayakan.
“Dalam memberikan bimbingan kepada anak, tidak jarang orang tua menempuh cara yang salah jika diukur dari cara mendidik. Dimana anak yang di didik melalui sikap otoriter, anak dipaksa mengikuti kehendak orang tua sehingga ruang gerak anak-anak terbatas. Dalam pola asuh ini orang tua berkuasa penuh dan biasanya anak harus mengikuti apa yang akan dikemukakan orang tua dan mereka tidak memperkenalkan untuk membantah anak dianggap tidak menghormati mereka”.
Akibat kekeliruan dalam mendidik banyak terjadi tindakan orang tua otoriter dan kekerasan terhadap anak. Akibatnya menimbulkan kerugian yang luar biasa terhadap pembentukan kepribadian anak yang mandiri. Mereka banyak yang kurang percaya diri, stress, tidak kreatif, mudah emosional, sampai bahkan ada diantaranya yang bunuh diri karena tidak tahan terhadap perlakuan orang tua.
Disebabkan karena perlakuan otoritarian dan kekerasan yang mereka terima sejak kecil menjadikan mereka sebagai individual yang gemar melakukan tindakan kekerasan setelah mereka menjadi dewasa. Akibat dari penomenal sosial itulah maka perlindungan terhadap anak pada saat ini betul-betul menjadi pembicaraan serius, sampai-sampai masalah ini tertuang dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
BAB III
PENUTUP
Tantangan terbesar dalam membangun kepribadian anak jaman ini adalah informasi yang rusak dan pengaruh buruk yang diciptakan oleh lingkungan modernitas yang tidak berbasis agama. Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar amana, nayaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya. Padahal mana ada surga yang dibangun di atas keserbakekurangan iman, ilmu dan amal sholeh.
Tugas masyarakat adalah bagaimana menjadikan dirinya aman bagi generasi mereka sendiri. Kini yang terjadi kita semua mencemaskan lingkungan kita sendiri. Bahkan kita hampir-hampir tak percaya dengan sekolah kita bahwa mereka mampu menjadi daerah yang aman bagi anak-anak kita. Tugas besar ini memang mirip dengan tugas kenabian:
”Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah:151).
Tetapi bukanklah Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyiapkan generasi yang terbaik untuk setiap jamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet-Ke 2, 1982)
Imam Bukhari, Sahahidul Bukkari, Terjemahan Zainuddin Hamidi, (Jakarta, 1992, Jilid I Cet ke 13)
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: 1995)
Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Hidayah Karya Agung, 1982)
Petrus Sardjonopritjo, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: Rajawali 1991)
Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Sifa’ 1981)
Syekh Adil Rasyid Ghamim, Bersikap Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993)
Ervin. A, Bundel Majalah Anda: Hindari Kekerasan dalam Mendidik, (Jakarta: 1975)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar